Rabu, 27 Maret 2013

RUU Santet, Zina, dan Ushul Fiqh..


Artikel ini sebenarnya hanya kutipan dari yang disampaikan Ust. Mustafa Yakub di acara Indonesia Lawyer Club di TV *ne, dan artikel ini pun tidak juga mewakili pandangan penulis terhadap dua kasus seperti yang tersebut di judul di atas, yaitu Santet dan Zina, karena Islam sudah jelas mengatur akan hal ini. Namun, problemnya adalah saat perkembangan tekhnologi, budaya, dan peradaban terus kian berkembang sehingga membutuhkan sebuah metode baru dalam hal menegakkan syariat.

Belalah (tolonglah) kawanmu baik dia zalim maupun dizalimi. Apabila dia zalim, cegahlah dia dari perbuatannya dan bila dia dizalimi upayakanlah agar dia dimenangkan (dibela). (HR. Bukhari)

Inilah hadits yang disampaikan ust. Mustafa Ya’kub dalam pernyataannya di acara tersebut. Pengertian akan hadits ini merupakan sebuah dalil akan ushul fiqh yang menyatakan bahwa hukum itu semestinya mendorong untuk pencegahan, bukan hanya sekedar penghukuman. Dalam hal pengajuan RUU Zina dan Santet pun, ustadz berpendapat ini adalah sebuah bentuk pencegahan, karena ada sebuah ancaman atas tindakan zalim (Santet dan Zina) tersebut. Maka dalam penyusunan RUU KUHAP tentang dua kasus ini pun mestinya dipahami sebagai bentuk pencegahan.

Kaidah ushul fiqh mengatakan,
“Segala sesuatu itu halal, sebelum ada aturan (syariat) yang melarang”
Oleh karena ini juga, maka RUU ini sebagai bentuk aturan ketegasan dalam hal santet dan zina. Sederhananya, selama ini Santet dan Zina, setidaknya di aturan Negara, diperbolehkan sebab tidak ada satu pun undang-undang yang mengatur akan hal ini.

Bergerak ke tahap selanjutnya, problem yang lebih kompleks dari dua kasus ini adalah metode pembuktian. Jika fiqh mengatakan butuh setidaknya 4 orang saksi dalam kasus zina, maka di zaman serba modern ini setidaknya butuh tambahan 1 orang saksi ahli diantara 4 orang itu, bisa jadi untuk membuktikan secara biologis akan adanya kasus perzinahan. Namun, aturan ini pun tidak serta merta dapat berlaku ditengah degradasi moral, dan kebobrokan social politik yang saling menjatuhkan, aturan ini menjadi riskan untuk disalah gunakan, maka dibutuhkanlah sebuah system yang benar-benar efektif.

Persoalan serupa pun dengan santet, problem metode pembuktian dalam kasus santet belum ditentukan alternatifnya, sebab ini berbicara dalam ranah ghaib yang irrasional. Hukum perundang-undangan membutuhkan pembuktian yang rasional, apa jadinya jika pembuktian irrasional ini sampai di pengadilan..??


Artikel Terkait

RUU Santet, Zina, dan Ushul Fiqh..
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email