Selasa, 05 Februari 2013

Skenario Kehidupan


Skenario Kehidupan

Pernahkah kita bertanya kenapa kehidupan kita seperti ini..?? kenapa Allah menempatkan kita dikeluarga ini..?? atau mungkin kenapa orang yang-yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu..?? itu terjadi atas sekenario Allah, kita mungkin lebih mengenalnya takdir dan nasib, namun di artikel ini saya lebih tertarik mnyebutnya skenario, esensi nya sama, namun biasanya skenario lebih lengkap, terarah, dan memiliki maksud.

Di artikel sebelumnya, saya pernah menyinggung tentang ummi-nya Rasulullah. Keadaan dimana Rasulullah disebut sebagai buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Berikut dengan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “Ummi” nya itu. Ternyata, dibalik ini pun terlahir akibat skenario yang telah Allah rencanakan. Perhatikan alur masa kecil Rasulullah.

Terlahir dalam keadaan yatim, di asuh oleh ibu susu Halimatussa’diyah, kemudian dididik oleh Aminah sampai 6 tahun, sampai menjadi yatim-piatu, sepeninggal ibundanya di Abwa. Hak asuh jatuh ke kakeknya Abdul Manaf sampai usia 10 tahun, dan kemudian hak asuh berpindah kembali ke pamannya Abu Thalib, sampai beliau mandiri dan menikah dengan Khodijah.

Sampai disana saja, ada pertanyaan yang menggelitik gak..?? kok Allah sampai segitunya sih..?? hehe.. pertanyaannya yang agak ngawur sebenarnya, tapi disini lah letak poin yang akan saya angkat, dimana ternyata, masa kecil Rasulullah pun sudah diatur sedemikian rupa agar beliau siap mengemban amanah besar dimasa depan kelak. Penjelasannya sederhananya seperti ini.

Terlahir dalam keadaan yatim, Muhammad kecil dididik mandiri. Begitu pun di usia 2 tahun ia terbiasa “di asuh” orang lain, Halimatussa’diyah. Dalam beberapa cerita, sering diceritakan teman sepermainan Muhammad, yaitu putra dari Halimah sendiri, disini lah terjalin interaksi social pertama Muhammad. Usia 6 tahun, Allah telah memanggil Aminah, di usia ini skenario Allah menilai Muhammad telah siap beranjak ke fase berikutnya. Abdul Manaf, sang kakek memberi tauladan yang luar biasa, yang besar kecilnya mempengaruhi Muhammad muda. Abdul Manaf adalah pimpinan Quraisy yang amat disegani, pemimpin yang bijak, dan dihormati di kaumnya, disinilah Muhammad kecil belajar tentang kepemimpinan, organisasi, kebijaksanaan, dan politik. Setelah di rasa cukup, kemudian Abdul Manaf meninggal, dan hak asuh beralih ke Abi Thalib, disinilah fase berikutnya berlanjut. Dalam asuhan Abu Thalib, Muhammad muda terbiasa dengan bisnis, perdagangan, entrepreneur, dan keterampilan lainnya, seperti menggembala, sampai di titik Muhammad menjadi entrepreneur sukses, dan siap diangkat menjadi Rasulullah.

Skenario Allah masih berlanjut jauh, namun sampai disini saja seharusnya kita sudah memahami bahwa skenario Allah memang memiliki kuasa atas kehidupan kita. Hmmm… bagaimana kalau kita lanjut ke ilustrasi ke dua, mungkin ini lebih logis.

Muhammad bin Idris, siapa yang kenal..??? mungkin agak jarang mendengar namanya, tapi kalau Imam Syafi’i..?? pasti langsung jawab pendiri Mazhab Syafi’i. Nah, jika ilustrasi Nabi Muhammad di atas lebih kearah kuasa Allah, karena Allah lebih bermaksud meng-“Ummi”-kan Rasulullah, dan menjaga ke maksumannya, berbeda dengan Imam Syafi’I, disini kita akan menemukan aspek ikhtiar.

Imam Syafi’I atau Muhammad bin Idris ini memang “be a man” akibat dari rangkaian ikhtiar yang beliau dan ibundanya perjuangkan. Kita tahu Imam Syafi’I ini hafal qur’an di usia 7 tahun, namun beliau tidak serta merta hafal begitu saja. Ibunda Syafi’I kecil adalah seorang hafidzoh, maka bayangkan jika dengan kewajiban sang bunda untuk memelihara hafalannya, misalkan dalam seminggu khatam Al-Qur’an dua kali, artinya di usia 7 tahun, Syafi’I telah mendengar bacaan Al-Qur’an sempurna sebanyak 1176 kali. Di samping memang syafii kecil telah memiliki program tahfidz semenjak kecil.

Logikanya untuk menjadi seorang ilmuwan, belajarlah ke ilmuwan lain. Begitu pun yang dilakukan Imam Syafi’I, agar menjadi seorang pakar fiqih sekaliber imam, beliau menggali ilmu dari seorang yang memiliki predikat sama, yaitu dari Imam Maliki. Tidak hanya sampai disana, ilmu fiqihnya tersebut ia wariskan ke penrus imam selanjutnya, yaitu Imam Hambali.

Nah, sekarang mungkin lebih jelas, ternyata skenario Allah pun bisa berbanding lurus dengan ikhtiar yang kita lakukan. Malah, doa dan ikhtiar pun sebenarnya bagian dari skenario yang telah Allah persiapkan untuk kita. Jadi bagaimana dengan skenario hidupmu..?? sudahkah kamu memahaminya..??

Wallahu a’lam

Minggu, 03 Februari 2013

Saksikanlah, Aku Adalah Muslim


“Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)

Hadits yang cukup singkat namun sangat luas dan dalam maknanya. Memang hadits ini memiliki pesan yang luar biasa, motivasi, dan amanah yang hebat bagi seorang mukmin.

Saat mengaku iman, mungkin hati, dan lisan saja cukup hanya sekedar berkata “Asyhadu..” tapi sadarkah esensi sebenarnya dibalik kalimat ini..??

Saat mengaku beriman, hati adalah tempat pertama segalanya bermula, hati menjadi muara segala interaksi-interaksi yang pada akhirnya akan berkaitan dengan pengakuan imannya itu. Hati akan mulai mengolah segala macam sumber, data, input, mengkonfigurasikannya dengan iman yang tertancap dalam hatinya. Saat pengakuan iman, bagaikan sebuah program yang otomatis terinstal dalam hati, yang kemudian akan mengoperasikan seluruh aspek dalam kehidupan.

Jika hati sebagai alat pengolah, input, sebuah sistem operasi kehidupan, maka out put nya adalah lisan dan tindakan. Lisan dan tindakan menjadi sebuah tolak ukur, sekaligus proyeksi ukuran keimanan kita. Lisan dan tindakan adaah sebuah konsekuensi yang tidak bisa dipungkiri, ia lahir beriringan dengan deklarasi keimanan yang kita lakukan.

Konsekuensi itu adalah dakwah. Berbicara, berbincang, berorasi, atau bahkan bergumam, hati akan memprogram semua itu berdasarkan visi yang ia miliki. Mukmin, memiliki visi yang tinggi, Syurga hanya lah bagian dari visinya, namun keridhaan Allah atas hidup dan mati adalah visi yang tidak bisa ditawar lagi.

Konsekuensi berikutnya adalah sholeh secara individu (Insan Kamil) dan secara social (Islam Kaffah). Allah menciptakan manusia dengan segala karakteristiknya, kekuarangan, dan kelemahannya bukan berarti menjadi alas an bagi manusia untuk menyerah atas kelemahannya, bagaimana pun juga manusia dituntut untuk hidup sesempurna mungkin, dengan segala ikhtiar, doa, ketawakalannya. Seharusnya manusia yang beriman, mengakui bahwa kesempurnaan sejati hanyalah milik Allah, dan manusia hanya makhluk lemah, namun pengakuan tidak cukup sampai disana. Maka, patuhlah, taatlah, “sami’na wa-atho’na..”, ikutilah petunjuk dari Yang Maha Sempurna, maka itulah prasyarat menjadi insan kamil sesungguhnya.

Maka jika insan kamil telah bergabung, bersatu padu dalam sebuah jamaah, maka disinilah momentum Islam Kaffah. Kesempurnaan agama ini hanya bisa dibuktikan dengan jamaah, sebuah peradaban yang mewakili tatanan sejati ajaran Islam, peradaban yang mengusung hukum dan petunjuk Al-Qur’an.

Inilah tugas kita, tugas setiap individu yang memiliki hati dalam raganya. Tugas setiap jiwa yang dengan pengakuannya ia berakat, “Saksikanlah, Aku adalah Muslim.”

Wallahu a’lam

Sabtu, 02 Februari 2013

Sami Yusuf - Free


sebuah lagu dari Sami Yusuf, bertajuk Free. salah satu nasyid favorit, kemasannya luar biasa, aransemen dan penggunaan musik, menghasilkan lagu yang cukup keren. tapi tahu gak, arti dibalik lirik lagu ini, berikut adalah terjemahan bebas dari lagu ini, semoga bisa mencerahkan..

***

“Apa yang kau pikirkan, saat kau duduk disana dan menatapku
Ya, aku tahu dari penampilanmu, Bahwa kau pikir aku sangat tertindas
Tapi aku tidak memerlukanmu untuk membebaskanku


Kepalaku tidak botak, Kau hanya tidak dapat melihat rambutku yang tertutup
Jadi, kau duduk disana dan menatap, Dan kau menilaiku dengan pandanganmu
Kau begitu yakin bahwa aku putus asa, Tapi apakah kau tidak sadar..??
Di bawah ini, jilbab yang kupakai, aku punya perasaan, dan aku peduli

Tidakkah kau lihat..?? Bahwa aku benar-benar bebas
Ini sepotong jilbabku, aku pakai begitu bangga
Untuk menjaga martabat ku ...

aku menjaga kesopanan
aku menjaga integritas
Jadi jangan menilaiku
Buka matamu dan lihatlah ...
Dia berkata,”kenapa kamu tidak bisa menerimaku..??”
Dia berkata,”kenapa aku tidak boleh menjadi diriku sendiri..??”

Berkali-kali
Kau berbicara tentang demokrasi
Namun kau sendiri yang merampok kebebasanku
Aku hanya ingin setara, jadi kenapa kau tidak membiarkan aku bebas (dengan jilbabku) ?”

Untukmu, aku menyanyikan lagu ini
Saudara perempuanku, kau selalu menjadi kuat
Darimu aku telah belajar Begitu banyak
Bagaimana dirimu begitu menderita
Namun kau memaafkan mereka yang menertawakanmu
Kau berjalan tanpa takut
Melalui penghinaan yang kau dengar
Kau berharap begitu tulus
Bahwa mereka akan mengertikanmu
Tapi, sebelum kau pergi
Kali ini kau berbalik dan berkata:

Tidakkah kau lihat..??
Bahwa aku benar-benar bebas
Ini sepotong jilbabku
aku pakai begitu bangga
Untuk menjaga martabat ku ...

aku menjaga kesopanan
aku menjaga integritas
Jadi biarkan aku menjadi diriku sendiri
Dia mengatakan sambil tersenyum
Dengan jilbab ini, aku adalah orang bebas..

** lirik asli **

What goes through your mind?
As you sit there looking at me
Well I can tell from your looks
That you think I?m so oppressed
But I don?t need for you to liberate me


My head is not bare
And you can’t see my covered hair
So you sit there and you stare
And you judge me with your glare
You’re sure I’m in despair
But are you not aware
Under this scarf that I wear
I have feelings, and I do care

CHORUS:
So don’t you see?
That I’m truly free
This piece of scarf on me
I wear so proudly
To preserve my dignity...

My modesty
My integrity
So don’t judge me
Open your eyes and see...
‘Why can’t you just accept me’? she says
‘Why can’t I just be me’? she says
Time and time again
You speak of democracy
Yet you rob me of my liberty
All I want is equality
Why can’t you just let me be free?

For you I sing this song
My sister, may you always be strong
From you I’ve learnt so much
How you suffer so much
Yet you forgive those who laugh at you
You walk with no fear
Through the insults you hear
Your wish so sincere
That they’d understand you
But before you walk away
This time you turn and say:

But don’t you see?
That I’m truly free
This piece of scarf on me
I wear so proudly
To preserve my dignity
My modesty
My integrity
So let me be
She says with a smile
I’m the one who’s free



Dasa Darma poin ke 10


Bagaimana pun juga saya telah menghabiskan 8 tahun aktif di kepramukaan, meski sekarang menjadi anggota pasif. Dalam rentang waktu 8 tahun tersebut, banyak sekali momen yang berhasil membuka, dan menjadi pencerahan bagi saya, saat-saat menjadi junior atau pun menjadi senior.

Salah satu momen yang berkesan di penghujung ke aktifan saya di Pramuka, terjadi di PTA (Penerimaan Tamu Ambalan) tahun 2011. Saat itu, saya diminta membantu kegiatan dengan menjadi salah satu dari tim pengujian, saat itu saya berinisiatif mengambil tentang dasa darma, terutama poin ke-10.

10. Suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Begitulah kira-kira bunyi nya, sejujurnya poin dasa darma yang satu ini selalu menjadi momok bagi setiap anggota pramuka, karena isinya yang agak berat (atau sangat berat). Nah, dalam kesempatan PTA itu saya mencoba menggali arti dari poin ke-10 ini, mungkin agak lupa, tapi kurang lebih dialognya seperti ini
Saya       :Apa itu suci..??
Peserta :Bersih, tidak kotor

Saya       :Bagaimana maksud dari suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan..??
Peserta :Selalu berkata berfikir, berkata, dan berbuat dengan “bersih”

Saya       :Bagaimana agar kita tahu, sedangakan kita tidak mungkin membaca pikirannya, memantau setiap yang dibicarakannya, dan memperhatikan gerak geriknya setiap hari..??
Peserta : “terdiam”

Saya       :Oke, tahu najis..??
Peserta :Tahu, kotor, kebalikan dari suci

Saya       :Bagaimana karakteristik najis mutawasithoh..??
Peserta :Berwujud (terlihat), berbau, dan berwarna

Saya       :Bagaimana cara mensucikannya..??
Peserta :Membersihkannya sampai, najis yang terlihat, baunya, dan warnanya, hilang..

Saya       : Sudah yakin dengan itu sudah suci..??
Peserta : “terdiam”

Saya       : Dalam kaidah fikih, itu sudah suci.. meskipun sejatinya kita sendiri tidak tahu sudah suci atau belum, bayangkan dengan kondisi umat nabi musa, pada waktu itu kalau terkena najis, maka bagian yang kotornya itu harus dipotong, untk memastikan kebersihannya, bagaimana kalau yang terkena najis itu adalah tubuh kita..??? makanya Allah tidak memberatkan umat kita ini. Kita kembali ke poin 10 dasa darma, sudah bisa di ambil kesimpulan..??

-          Kesimpulannya, kita manusia dengan segala keterbatasannya, memang di haruskan untuk senantiasa suci, senantiasa berbuat baik, bukankah manusia itu diciptakan dalam bentuk sempurna..?? maka kita punya kewajiban untuk menjaga kesempurnaan itu. Namun, saat dihadapkan dengan orang lain, Allah menganugerahkan kita indera, dan cukup lah penilaian itu hanya berdasarkan indera yang kita miliki. Saat saya sendiri menguji poin 10 dasa darma, saya menilai hanya cukup dari perkataan, dan tingkah laku di saat pengujian ini, karena selebihnya saya tidak akan bisa menilai karena keterbatasan itu tadi. Disamping itu, saya sendiri pun memiliki kewajiban untuk mengamalkan dasa darma poin ke 10 ini ke kalian, apa itu..?? suci dalam pikiran, sebagai anggota pramuka, kita memiliki kewajiban untuk senantiasa berfikir baik terhadap orang lain, dengan kata lain kita harus senantiasa husnuzhon.

-          Lantas, jika saya sebagai penguji, tidak bisa menilai “kesucian” kalian, lalu siapa yang bisa..??

-          Hanya Allah dan diri kalian sendiri.


Wallahu a’lam