“Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan,
dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)
Hadits yang cukup singkat namun sangat luas dan dalam
maknanya. Memang hadits ini memiliki pesan yang luar biasa, motivasi, dan
amanah yang hebat bagi seorang mukmin.
Saat mengaku iman, mungkin hati, dan lisan saja cukup hanya
sekedar berkata “Asyhadu..” tapi sadarkah esensi sebenarnya dibalik kalimat ini..??
Saat mengaku beriman, hati adalah tempat pertama segalanya
bermula, hati menjadi muara segala interaksi-interaksi yang pada akhirnya akan
berkaitan dengan pengakuan imannya itu. Hati akan mulai mengolah segala macam
sumber, data, input, mengkonfigurasikannya dengan iman yang tertancap dalam
hatinya. Saat pengakuan iman, bagaikan sebuah program yang otomatis terinstal
dalam hati, yang kemudian akan mengoperasikan seluruh aspek dalam kehidupan.
Jika hati sebagai alat pengolah, input, sebuah sistem operasi
kehidupan, maka out put nya adalah lisan dan tindakan. Lisan dan tindakan
menjadi sebuah tolak ukur, sekaligus proyeksi ukuran keimanan kita. Lisan dan
tindakan adaah sebuah konsekuensi yang tidak bisa dipungkiri, ia lahir beriringan
dengan deklarasi keimanan yang kita lakukan.
Konsekuensi itu adalah dakwah. Berbicara, berbincang, berorasi,
atau bahkan bergumam, hati akan memprogram semua itu berdasarkan visi yang ia
miliki. Mukmin, memiliki visi yang tinggi, Syurga hanya lah bagian dari
visinya, namun keridhaan Allah atas hidup dan mati adalah visi yang tidak bisa
ditawar lagi.
Konsekuensi berikutnya adalah sholeh secara individu (Insan
Kamil) dan secara social (Islam Kaffah). Allah menciptakan manusia dengan
segala karakteristiknya, kekuarangan, dan kelemahannya bukan berarti menjadi alas
an bagi manusia untuk menyerah atas kelemahannya, bagaimana pun juga manusia
dituntut untuk hidup sesempurna mungkin, dengan segala ikhtiar, doa,
ketawakalannya. Seharusnya manusia yang beriman, mengakui bahwa kesempurnaan
sejati hanyalah milik Allah, dan manusia hanya makhluk lemah, namun pengakuan
tidak cukup sampai disana. Maka, patuhlah, taatlah, “sami’na wa-atho’na..”,
ikutilah petunjuk dari Yang Maha Sempurna, maka itulah prasyarat menjadi insan
kamil sesungguhnya.
Maka jika insan kamil telah bergabung, bersatu padu dalam
sebuah jamaah, maka disinilah momentum Islam Kaffah. Kesempurnaan agama ini
hanya bisa dibuktikan dengan jamaah, sebuah peradaban yang mewakili tatanan
sejati ajaran Islam, peradaban yang mengusung hukum dan petunjuk Al-Qur’an.
Inilah tugas kita, tugas setiap individu yang memiliki hati
dalam raganya. Tugas setiap jiwa yang dengan pengakuannya ia berakat, “Saksikanlah,
Aku adalah Muslim.”
Wallahu a’lam
Saksikanlah, Aku Adalah Muslim
4/
5
Oleh
hadad