Rabu, 06 Februari 2013

Fizhillalil Qur'an


Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw. (HR. Muslim)

Seorang Muslim mestinya wajib mengkaji ilmu dari satu sumber ini, Al-Qur’an. Panduan hidup, ajaran, arahan, serta hikmah yang luar biasa berada disini. Bagaimana tidak, inilah firman Allah, kalimat yang langsung berasal dari Allah.

Terbayang bagaimana jika seorang yang sadar usianya akan berakhir, kemudian mencoba menghasilkan sebuah karya terbaiknya..?? inilah yang saya rasakan tatkala membaca sebuah kitab tafsir, Fizhilallil Qur’an, atau Di Bawah Naungan Al-Qur’an. Sayyid Quthb berhasil menghasilkan sebuah karya besar, amal jariyah yang luar biasa di penghujung hidupnya, tafsir Fizhillalil Qur’an memang agak berbeda dari kitab tafsir kebanyakan.

Rangkaian kata, susunan redaksi dalam kitab ini sangat indah, namun menghujjah, setidaknya itulah yang dapat kita rasakan dalam terjemahannya. Terdapat sebuah kekuatan, sekaligus keindahan, namun tidak sedikitpun mempengaruhi esensi kebenaran yang semestinya ada dalam sebuah kitab Tafsir.

Kehadirannya di awal abad ke-20, menyebabkan banyak tantangan hadir malang melintang dalam penyusunan kitab tafsir ini. Tantangannya saat umat tidak hanya butuh pengertian dan penjelasan secara ma’tsur namun pun secara ra’yi. Saat umat digerus pemikirannya oleh liberalism, hedonism, ideology dictator, dan keterbukaan sains, Sayyid Quthb berhasil menjawab tantangan itu. Sayyid quthb mampu menjelaskan sebuah kajian tafsir dengan mengikut sertakan pemahaman logika, beserta bukti-bukti entah itu berupa sains atau catatan sejarah (dan tentu saja yang relevan di masa itu), disamping tentu saja kajian utamanya yang berupa penjelasan dari hadits.

4 rekomendasi rasanya sudah cukup meyakinkan saya untuk belajar dari kitab tafsir Fizhillalil Qur’an. Rekomendasi itu berasal dari Prof. K. H. Ali Yafie, Dr. K. H. Didin Hafidhuddin, Dr. K. H. Miftah Faridl, dan Prof. Dr. Din Syamsudin. Rekomendasi ini bisa dibaca dibagian belakang cover kitab.

Setidaknya, inilah referensi kitab tafsir kedua yang ada di rumah kami (penulis blog, yang satu lagi adalah tafsir Al-Jalalaein). Di beberapa artikel saya langsung mengutip dan mensarikannya dari kitab yang satu ini. Allahum arhamna bil Qur’an..

Selasa, 05 Februari 2013

Skenario Kehidupan


Skenario Kehidupan

Pernahkah kita bertanya kenapa kehidupan kita seperti ini..?? kenapa Allah menempatkan kita dikeluarga ini..?? atau mungkin kenapa orang yang-yang kita cintai meninggalkan kita terlebih dahulu..?? itu terjadi atas sekenario Allah, kita mungkin lebih mengenalnya takdir dan nasib, namun di artikel ini saya lebih tertarik mnyebutnya skenario, esensi nya sama, namun biasanya skenario lebih lengkap, terarah, dan memiliki maksud.

Di artikel sebelumnya, saya pernah menyinggung tentang ummi-nya Rasulullah. Keadaan dimana Rasulullah disebut sebagai buta huruf, tidak bisa membaca dan menulis. Berikut dengan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “Ummi” nya itu. Ternyata, dibalik ini pun terlahir akibat skenario yang telah Allah rencanakan. Perhatikan alur masa kecil Rasulullah.

Terlahir dalam keadaan yatim, di asuh oleh ibu susu Halimatussa’diyah, kemudian dididik oleh Aminah sampai 6 tahun, sampai menjadi yatim-piatu, sepeninggal ibundanya di Abwa. Hak asuh jatuh ke kakeknya Abdul Manaf sampai usia 10 tahun, dan kemudian hak asuh berpindah kembali ke pamannya Abu Thalib, sampai beliau mandiri dan menikah dengan Khodijah.

Sampai disana saja, ada pertanyaan yang menggelitik gak..?? kok Allah sampai segitunya sih..?? hehe.. pertanyaannya yang agak ngawur sebenarnya, tapi disini lah letak poin yang akan saya angkat, dimana ternyata, masa kecil Rasulullah pun sudah diatur sedemikian rupa agar beliau siap mengemban amanah besar dimasa depan kelak. Penjelasannya sederhananya seperti ini.

Terlahir dalam keadaan yatim, Muhammad kecil dididik mandiri. Begitu pun di usia 2 tahun ia terbiasa “di asuh” orang lain, Halimatussa’diyah. Dalam beberapa cerita, sering diceritakan teman sepermainan Muhammad, yaitu putra dari Halimah sendiri, disini lah terjalin interaksi social pertama Muhammad. Usia 6 tahun, Allah telah memanggil Aminah, di usia ini skenario Allah menilai Muhammad telah siap beranjak ke fase berikutnya. Abdul Manaf, sang kakek memberi tauladan yang luar biasa, yang besar kecilnya mempengaruhi Muhammad muda. Abdul Manaf adalah pimpinan Quraisy yang amat disegani, pemimpin yang bijak, dan dihormati di kaumnya, disinilah Muhammad kecil belajar tentang kepemimpinan, organisasi, kebijaksanaan, dan politik. Setelah di rasa cukup, kemudian Abdul Manaf meninggal, dan hak asuh beralih ke Abi Thalib, disinilah fase berikutnya berlanjut. Dalam asuhan Abu Thalib, Muhammad muda terbiasa dengan bisnis, perdagangan, entrepreneur, dan keterampilan lainnya, seperti menggembala, sampai di titik Muhammad menjadi entrepreneur sukses, dan siap diangkat menjadi Rasulullah.

Skenario Allah masih berlanjut jauh, namun sampai disini saja seharusnya kita sudah memahami bahwa skenario Allah memang memiliki kuasa atas kehidupan kita. Hmmm… bagaimana kalau kita lanjut ke ilustrasi ke dua, mungkin ini lebih logis.

Muhammad bin Idris, siapa yang kenal..??? mungkin agak jarang mendengar namanya, tapi kalau Imam Syafi’i..?? pasti langsung jawab pendiri Mazhab Syafi’i. Nah, jika ilustrasi Nabi Muhammad di atas lebih kearah kuasa Allah, karena Allah lebih bermaksud meng-“Ummi”-kan Rasulullah, dan menjaga ke maksumannya, berbeda dengan Imam Syafi’I, disini kita akan menemukan aspek ikhtiar.

Imam Syafi’I atau Muhammad bin Idris ini memang “be a man” akibat dari rangkaian ikhtiar yang beliau dan ibundanya perjuangkan. Kita tahu Imam Syafi’I ini hafal qur’an di usia 7 tahun, namun beliau tidak serta merta hafal begitu saja. Ibunda Syafi’I kecil adalah seorang hafidzoh, maka bayangkan jika dengan kewajiban sang bunda untuk memelihara hafalannya, misalkan dalam seminggu khatam Al-Qur’an dua kali, artinya di usia 7 tahun, Syafi’I telah mendengar bacaan Al-Qur’an sempurna sebanyak 1176 kali. Di samping memang syafii kecil telah memiliki program tahfidz semenjak kecil.

Logikanya untuk menjadi seorang ilmuwan, belajarlah ke ilmuwan lain. Begitu pun yang dilakukan Imam Syafi’I, agar menjadi seorang pakar fiqih sekaliber imam, beliau menggali ilmu dari seorang yang memiliki predikat sama, yaitu dari Imam Maliki. Tidak hanya sampai disana, ilmu fiqihnya tersebut ia wariskan ke penrus imam selanjutnya, yaitu Imam Hambali.

Nah, sekarang mungkin lebih jelas, ternyata skenario Allah pun bisa berbanding lurus dengan ikhtiar yang kita lakukan. Malah, doa dan ikhtiar pun sebenarnya bagian dari skenario yang telah Allah persiapkan untuk kita. Jadi bagaimana dengan skenario hidupmu..?? sudahkah kamu memahaminya..??

Wallahu a’lam