Menjelang pilgub jabar, sedikit mereview kebelakang tentang
beberapa calon. Seperti kita ketahui, calonnya berturut-turut yaitu,
1.
Dikdik – Toyib (independen)
2.
Yance – Tatang (golkar)
3.
Dede – Laksamana (democrat)
4.
Aher – Dedi Mizwar (PKS)
5.
Rieke – Teten (PDI-P)
Nah, sampai menjelang pemilu ini ada sebuah catatan menarik,
bagaimana kita mengukur kefektivitasan dari calon independen. Beberapa tahun
kebelakang, beberapa pilkada memang mulai diramaikan oleh calon-calon
independen. Calon independen ini lebih memilih berpolitik dengan idealism nya
sendiri, tanpa ada tekanan, bahkan dukungan dari partai politik. Sepintas memang
cara ini terlihat seperti nekad, karena pada akhirnya mesin kampanye akan jauh kalah
dibandingkan calon yang diusung oleh partai politik.
Contohnya adalah kampanye yang terjadi di jabar, terutama di
lingkungan saya sendiri (Cianjur). Baru saja keluar rumah, saya sudah disuguhi
banner kecil, pasangan no. 4. Disepanjang jalan raya, berjajar banner besar
pasangan no. 2, dengan janji 500 juta per desa per tahun. Belum minggu yang
lalu ramai pasangan no. 3 kampanye di car free day, dan jangan lupa keseriusan “blusukan”
pasangan no. 5, sampai-sampai mendatangkan rano karno, dan jokowi. Pertanyaannya,
kemana pasangan no 1..??
Ya, melihat jajaran banner saja, saya hampir tidak menemukan
pasangan no.1, atau mungkin ada, tetapi sebagai orang awam, ketika melihat
banner yang ada di kepala adalah warna..!! ya, warna melambangkan partai
pengusung, kuning, biru, putih, dan merah. Nah, mungkin gara-gara pasangan no.1
ini “gak berwarna” akhirnya ya tidak kelihatan. :P
Jika calon-calon lain kampanye dengan “wah”, arak-arakan,
dengan massa yang banyak. Saya cukup kaget dengan kampanya pasangan independen
ini. Saat itu saya baru saja belanja dari mini market dekat rumah, tiba-tiba
terdengar pengeras suara, nggak jelas, tapi saya piker “ah paling juga tukang
obat..”, begitu keluar, ternyata pengeras suara itu berasal dari sebuah mobil
yang berkampanye pasangan independen, hanya sebuah mobil..!! tanpa arak-arakan, tanpa keramaian, hmm.
Oh iya, bahkan saat artikel ini disusun pun saya mesti
googling dulu untuk mencocokan nama, agak lupa.. hehe. Tetapi disaat googling
itu baru saya “ngeh” ternyata pasangan no.1 ini dinobatkan sebagai calon paling
kaya diantara calon-calon lainnya. Disini saya mulai sadar, bahwa jika modal
kampanye dijadikan sebagai landasan berpolitik, mestinya itu sudah cukup untuk
bersaing dengan calon-calon yang diusung partai besar, tetapi kenyataannya itu
tidak cukup. Ya, berpolitik tidak hanya berbicara perihal kampanye, ada
idelisme yang mesti dijual.
Pada akhirnya, berpolitik seperti sebuah system marketing
kompleks, dan pemilu seperti sebuah bazar. Pada dasarnya semua calon sama, memiliki
produk sama, tetapi cara menjual idealism nya itu lah yang berbeda. Jika strategi
politik masih tetap sama, saya masih ragu calon independen akan berkembang di
masa yang akan datang.
Nasib Calon Independen
4/
5
Oleh
hadad