Kamis, 02 Februari 2012

Garudaku apa kabarmu..??

Garudaku apa kabarmu..??

Dulu, kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya terkadang melinang, namun lembut. Tapi sekarang, tampaknya dia sakit. Air matanya sudah kering, dan wajahnya sudah dingin menandakan ketidak peduliannya lagi pada sekitar. Biarlah hutan gunung dan lautan yang dulu dibanggakan, sekarang tak terurus. Biar mereka dijarah, dibakar, diperebutkan, bahkan mereka saksi setiap insiden berdarah dibumi, yang bernama pertiwi ini.
Sungguh, aku tidak tega melihatmu seperti itu, pertiwi. Tapi aku tak sanggup. Aku kecil. Sedangkan lawan-lawanku dan lawan-lawanmu, adalah raksasa rahwana buas yang kejam, monster. Aku bagai sudra didepan mereka. Aku, dan teman-temanku hanya bisa berteriak-teriak, di balik pagar besi dan kawalan ksatria berseragam coklat, sayang mereka dibawah perintah bangsawan, yang ternyata adalah monster rahwana. Mereka.?? Melenggang tak mendengar, dan banyak berkilah. Ah, kami marah, kami rusak pagar, kami lawan para ksatria, dan kami di pukul, kami ditembak gas air mata, kami di semprot meriam air, bahkan kami ditembak peluru tajam. Maaf, pertiwi kami khilaf, kami malah menumpahkan darah lebih banyak lagi.
Kini, disebuah sudut disenayan, sebuah gedung berdiri kokoh. Aku mencoba masuk kesana dengan sedikit elegan, jangan Tanya berapa, eh bagaimana.. karena aku sendiri lupa. Aura negative begitu terasa disana, ah sepertinya ini yang membuat pertiwi sakit. Aku berjalan, sambil menahan bau yang agak busuk, meski dibeberapa tempat sempat wangi. Gedung utama, mereka sedang rapat, meski tidak semua, alunan merdu dengkuran hamper saja membuatku terlena, indah. Aha, ada kursi kosong disana, atau banyak kursi kosong disana, hmm banyak sekali. Aku turun dan menghampiri salah satu kursi. Coba ah. Hampir saja tubuhku mendarat, tiba-tiba kursi bergeser . gubrak, jatuh yang agak menyakitkan. Aku coba lagi, dan kursinya bergeser lagi. Kini aku ikat kursi itu, dan kupaksakan duduk disana, tiba-tiba alarm menyala, dan kursi berubah menjadi sangat panas, sembari sebuah tulisan keluar di layar utama. Maaf, anda duduk di kursi seharga 24 juta rupiah, sementara pantat anda hanya seharga 5 juta rupiah. Ow, inikah tempat duduk para rahwana..??
Setelah berhasil mendapatkan tempat duduk dari kayu. Aku memperhatikan sebuah burung. Burung yang kurasa sudah sangat kukenal. Wajahnya menghadap ke kanan, tapi dengan mata terpejam. Bulu-bulunya sebagian sudah rontok, tampaknya dia stress. Ooohhh, inikah garudaku..?? , garuda yang dulu sering kunyanyikan, yang sering kuhafal, yang sering kubanggakan, dan yang sering kugambar..?? sekarang..?? bahkan rantai di lehernya telah putus sebelah, menyisakan ketidak seimbangan pada perisainya, dan kini ia terbalik. Apa yang mereka lakukan padamu,garudaku..?? apakah mereka sudah tidak ingat lagi dengan pancasilamu..?? atau mereka sengaja membalikkannya..?? aku tersenyum kecut.
Pertiwi, aku pulang. Maaf aku tidak bisa berbuat banyak. Sebaiknya kita berdoa saja, bu, semoga ada arjuna, atau banyak arjuna lahir dibumi ini. Pertiwi tersenyum. Ya, aku dan dia tahu hanya Allah yang bisa menyelamatkan negeri ini.

Senin, 02 Januari 2012

perjalanan itu

perjalanan itu


“akhir november sempat "mimpi" mau liburan backpacker ke jogja dan mulai lah perencanaannya, awal pertengahan desember keuangan saya sangat mengkhawatirkan sampai membatalkan liburan itu, besok..?? saya akan berangkat ke Jawa Timur-Jogjakarta, dan malam tahun baru disana..

teruslah bermimpi teman.. ^_^”

(status fb tanggal, 27 desember 2011)
Aku di ajak oleh kakak, untuk ikut berliburan selama 5 hari di jawa timur dan Jogjakarta. Aku ikut bersama rombongan sekolah tempatnya mengajar. Meski dompetku isinya sangat pas-pasan, tapi itu tidak menghalangi niatku untuk ikut dengan segala resiko yang ada.. hehe..
Tanggal 28 desember aku dan rombongan pun berangkat, mengambil arah ke ciputat-bekasi-cikampek-dan pantura. Oh iya, bus yang kami tumpangi adalah bus limas eksekutif, jadi lumayan nyamanlah. Berangkat jam 7 pagi, dan berhenti di jam 10 pagi, kalo gak salah di sekitaran tol Bekasi. Maklum, di bus banyak orang tua dan anak-anak, akhirnya kami pun rajin bersilaturahmi ke toilet terdekat.
Kebiasaan perjalanan jauh, dan memakai bus ber-ac adalah tidur. Ya, dan aku pun tidur, sampai pemberhentian kedua, indramayu. Sebenarnya sih aku sempet melek juga, saat di cikampek, dan subang, dan (maklum anak rumahan) di subang saya sangat takjub dengan pemandangan khasnya, yaitu sawah yang membentang luas, dan burung-burungnya yang begitu unik, yang kalo gak salah namanya burung kuntul. Di indramayu, kami beristirahat makan dan shalat, perjalanan pun dilanjutkan setelah beristirahat selama kurang lebih 1 jam.
Perjalanan di lanjutkan, sampai menembus perbatasan jawa tengah kami berhenti kembali di sebuah toko khas oleh-oleh Brebes, ada yang tahu..?? belut..?? salah.. kerupuk..?? salah.. tapi yang bener adalah.. telor asin. Jadilah rombongan kami pada bertelor, eh maksudnya membeli telor asin.
Pemberhentian selanjutnya adalah Kendal, disini aku mulai menemukan fenomena aneh, kakiku sakit. Ah aku biarkan, seperti biasa shalat dan makan, disini kami (aku dan kakakku, khususnya) mulai merasa agak aneh dengan dengan rasa makanan khas jawa timur, hmmm apa ya,,?? Tapi emang beda dengan makanan khas kami yaitu, sunda dan padang, ( haha.. maksudnya keseringan makan di warung padang ).
Shubuh, kami berhenti di sebuah mesjid di.. di mana ya..?? aku lupa.. tapi yang jelas disini aku mulai merasakan kaki yang amat sakit, dan ternyata bengkak. Huhhh, saya mulai bingung harus bagaimana masa baru hari pertama sudah tidak bisa jalan lagi, ah gak seru. Aku pun memaksakan turun untuk shalat shubun berjamaah dan mandi seala kadarnya. Oh iya sepanjang malam tadi, kami berjalan di sepanjang pantai, baru tahu kalo ternyata jalanan raya ini, seperti sangat dekat sekali dengan pantai, cukup membuat mata segar.
Sekitar jam 6 pagi,tanggal 29 desember, kami tiba di lamongan, masih dengan pemandangan pantainya yang khas.
Dan jam 7 lebih kami tiba di tempat tujuan pertama, jembatan Suramadu. Laut selat Madura, khas banget, indah dari persepsi yang berbeda (hihi, apa maksudnya ini teh..). kemudian, memasuki wilayah Madura, dengan pemandangan yang hampir sama dengan subang, tapi dengan burung kuntul yang lebih banyak, kereeeennn. Tapi, bus tidak berhenti, oke, ada apa ini..?? dari yang aku ketahui tujuan pertama Suramadu, tapi kami tidak berhenti sampai di bangkalan, baru berhenti, sampai tiba di sebuah mesjid di sekitaran bangkalan. Baru aku tahu, kalo itu adalah, makam KH Muhammad Khalil Bangkalan.
Turun dari bus dengan jalan terpincang aku berusaha meraih toilet, ciee dramatis. Setelah itu, baru sarapan dengan makanan khas Madura, ya parang..!! bukan, maksud aku sate. Enak, dan murah cukup dengan 5 ribu, 10 tusuk sate dan lontong berhasil mengenyangkan perut yang keroncongan ini. Untuk oleh-oleh, 2 lembar kain batik telah di tangan.
Perjalanan di lanjutkan, setelah berkeliling di sekitaran bangkalan dan disuguhi pemndangan tambak yang luas, dan indah, kami tiba di pelabuhan kamal, sekali lagi, aku tidak tahu kalau ini dalam rute perjalanan, maklum ini pelayaran pertamaku menggunakan kapal feri. Setelah menunggu sekitar 1 jam, bus perlahan masuk ke dek kendaraan kapal feri, angin lautnya, sempet takut masuk angin juga, hehe. Tapi semua ketegangan, terbayar dengan pemandangan yang luar biasa, dari selat Madura,pokoknya Subhanallah deh.
Memasuki Surabaya, dan Sidoarjo, sekitar pukul 4, dan rombongan berkesempatan melihat lumpur panas semburan lapindo. Sayang, kakiku sudah tidak bisa di ajak berkompromi, akhirnya aku dan kakak memutuskan untuk tidak ikut melihat semburan lumpur panas lapindo.
Di pemberhentian shalat ‘Asar, kakakku menemukan sebuah RSUD di sana, kalo gak salah RS Mitra Sehat Medika, pandaan, pasuruan. Akhirnya, aku di bawa ke UGD untuk memeriksakan kakiku yang bengkak, alhasil sebuah suntikan mendarat di pantatku, dan sebuah kartu berobat menjadi oleh-oleh dari Pasuruan, haha tragis.
Malam hari, kami tiba di batu, malang. Setelah menyantap baso malang, mata pun tak kuasa menahan lelah, dan terlelap.
Jum’at, pukul 9, aku masih males bangun, padahal orang-orang sudah pada maen kemana, ya hotel tempat kami menginap, berada di pusat pariwisata batu, jadi di sana ada pasar wisata, kolam pemndian air hangat, dan dilengkapi dengan pemandangan perbukitan yang indah.
 
Sarapan dengan semangkuk nasi dan rawon yang mantap, aku memutuskan untuk menghirup udara segar, ya minimal jalan ke pasar wisata, ku ajak kakak. Sepulangnya, sekantong besar keripik buah sudah ada di tangan, hehe.
Sehabis, shalat jum’at kami berangkat lagi, kali ini tujuannya kebun apel. Dengan niat makan apel sepuasnya, eehh tiba di tempat, aku malah bingung gimana cara ngebedain apel matang sama apel mentah, wah alhasil aku hanya menyantap 2 buah apel, yang kayaknya sih masih mentah, haha nasib.
Pemberhentian selanjutnya adalah BNS atau Batu Night Spectaculer, sekali lagi, ini tidak ada dalam rencana..!! akhirnya, aku hanya menyantap soto lamongan yang berada di jalan protokolnya.
Mendarat lagi di hotel, aku jalan sejenak, dan pulang setelah semangkuk rawon dan sebuah kaos ada di tangan, oh iya hampir lupa nama daerahnya adalah sanggoriti.
Tanggal 31, desember, pukul 8 kami tiba di coban rondo, sebuah air terjun yang luar biasa, indah, dingin, dan tentunya berair, boro-boro mau dekat ke air terjun, baru berjarak 15 meter saja baju sudah basah kuyup.
Setelah puas berdingin-dinginan ria, kami melanjutkan perjalanan dengan arah blitar. Tempat Bung Karno  di makamkan, rasanya ini pertama kali aku naek becak, kami diantar menuju makam Bung Karno, dan luar biasa megah, di sampingnya terdapat suatu gedung yang banyak sekali buku, entah itu perpustakaan atau took, hehe gak sempat masuk. Sayang, di pintu keluar aku dihadapkan pada sebuah jalan memasuki pasar yang pengap, haduh gak enak deh.
Menjelang sore, Bus sudah di arahkan ke Jogjakarta, aku pun memutuskan untuk tidur di sepanjang perjalanan, niatnya mau lihat tahun baruan.
Akhirnya momen tahun baru itu tiba, sayang bukan tepat di Jogjakarta, tapi di perjalanan tepat di Surakarta. Tapi tidak apa-apa, momen meriah tetap terasa, kembang api melesat di berbagai arah, dan adalam kesempatan itu pun aku sempat mengirim pesan singkat ke semua teman-temanku yang isinya kurang lebih.. from jogja, for all my brother and my sister, may Allah help for to be come true our resolution, and may Allah bless us in new year, specially for Gaza and Indonesia, please pray for them, I love you all.. happy new year..
Pukul 3 pagi, kami tiba di Jogjakarta, sayang sepi, mungkin habis tahun baruan langsung pada tidur kali ya.?? Kami memutuskan untuk shalat shubuh di mesjid gedhe keraton, dengan memilih berjalan kaki sementara yang lain naik becak, akhirnya tiba disana.  Alhamdulillah, setelahnya aku mandi, aku sempat bermuhasabah sebentar di Mesjid, indah dan syahdu.
Ada kejadian lucu ketika shalat berjamaah, sekali lagi ini adalah pengalaman pertama aku shalat di sana. Setelahnya, imam membaca alfatihah, aku sangka akan membaca surat pendek biasa, kayak imam-imam lain, tapi ternyata lantunan ayat pertama.. Arrahman. Aku kaget, hah surat Arrahman, akhirnya surat tersebut pun mengalun, indah memang, tapi sepertinya sebagian jamaah belum siap dengan surat ini, ada yang oleng, angkat-angkat kaki, sampai hampir ada saja yang nyusruk, meski hanya setengah surah atau ¾ -nya yang terbaca, tapi itu adalah shubuh terindah yang pernah kurasa, entah bagaimana rasanya jika di Mesjidil Haram.
Matahari terbit, kami sudah stand by dengan pasukan becak kami, siap-siap berburu oleh-oleh khas Jogjakarta, yaitu bakpia pathok, dan batik atau kaos Djogja. Alhamdulillah, aku dapat sebuah kaos, bagus juga, hehe.
Ternyata, rombongan lain, tidak puas dengan belanja pagi itu, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat belanja berikutnya, aku memtuskan untuk diam di bus, anda tahu kenapa..?? dompetku sudah kosong.. haha.
Setelah itu perjalanan pulang, Alhamdulillah kami sampai di rumah pukul 3 dini hari. Hikmahnya..?? luar biasa…



Jumat, 05 Agustus 2011

it's my big dream...!!! ( 2 )


Setelah kutemukan berbagai masalah tersebut, sejenak aku berfikir, tentang apa yang mesti kulakukan, dan yang bisa kulakukan, sebenarnya rangkaian ini tetap menjadi kegiatan iseng bagiku, sampai aku berfikir tentang satu hal, visi…!! ( lupa lagi dari mana ya dapet inspirasi kata ini.. he )

Ya inilah satu kata yang menghilang dari tubuh umat Islam terutama di Indonesia, entah kenapa tiba-tiba kita seperti hidup terpisah, saling menuduh sesat antar ormas, saling menyerang antar umat, dan beberapa oknum ormas justru menganiaya dan menjadi kendaraan politik tak bertanggung jawab.. menyedihkan..

Visi ini memiliki kekuatan luar biasa ( bisa di cek di postingan blogku selanjutnya ), terutama dalam Islam, sampai pada masa Nabi, Khulafaurrasyiddin dan dinasti-dinasti setelahnya, mereka berhasil menjadi umat Berjaya, ditangan mereka Islam menjadi kiblat dunia, ditangan mereka pula Islam ditakuti oleh lawan, dikagumi oleh kawan. Sebutlah tokoh-tokoh seperti shalahuddin al-Ayyubi, Umar bin Abdul Aziz, Para Shahabat Khulafarrasyidin, dan Nabi Muhhammad pun, mereka bergerak, berjung bukan tanpa arah, tetapi mereka di kendalikan oleh visi. Visi menjadikan Islam sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin.

Aku mulai tertarik untuk mencari tokoh-tokoh yang pada zaman ini, selain seorang da’I dia juga memiliki andil besar terhadap perkembangan zaman, tokoh-tokoh yang memiliki visi besar. Tokoh-tokoh ini aku cari dari berbagai literatur, artikel, pemberitaan media massa, dan obrolan ringan dari sahabat-sahabat. Hingga akhirnya kutemukan berbagai nama, tapi satu hal yang paling menarik adalah organisasi Ikhwanul Muslimin ( Insya Allah di lain kesempatan akan saya bahas ). Mereka memiliki visi yang begitu kuat, besar, dan terorganisir sangat rapi, sampai-sampai Amerika dan sekutunya sangat takut dengan organisasi ini. Terbukti dengan kematian Syahidnya Hasan Al-banna, dan Sayyid Quthb di tiang gantungan. Tetapi mereka tidak pernah berhenti melahirkan generasi-generasi pemberani, yang luar biasa, sebutlah Yusuf Qardhawi, yang saat ini menjadi ahli fiqh dunia, Syekh Ahmad Yassin yang begitu di takuti Israel ( meskipun lumpuh.. Subhanallah.. ) dan sebagian besar anggota mereka adalah kaum intelektual yang hafidz Qur’an.

Kesempatan masih ada, masih terbuka lebar bagi umat ini untuk menjadi Berjaya, setidaknya itulah yang terfikirkan saat mengetahui tentang ikhwanul muslimin ini. Semua ini mendorongku untuk kembali bermimpi, menjadikan Islam sebagai kiblat dunia, menjadikan Islam terlahir kembali sebagai raksasa peradaban yang begitu agung, aku sangat yakin masa itu akan tiba.

Dan inilah mimpiku, aku ingin menjadi bagian dari perjuangan jamaah Islam yang terorganisir dalam satu visi, Rahmatan lil’alamin, bersama mereka yang diridhoi Allah.

Sebuah kutipan dari pidato hasan al-banna, selaku pendiri Ikhwanul Muslimin,

“antum Arruhun jaded, fijasadil ummah..”
“… kalian adalah jiwa baru dari tubuh umat, tidak ada alasan bagi kalian untuk menyalahkan keadaan atas kekacauan ini, sebagai jiwa baru kitalah yang bertanggung jawab untuk merubahnya, menjadi lebih baik..”

Wallahu a’lam
saatnya berubah..!!

saatnya berubah..!!

assalaamu’alaikum wr. wb.

Sejak menggarap makalah pada tahun 2007 dan tesis pada tahun 2009 tentang Buya Hamka, saya menjadi akrab dengan karya-karya beliau yang kini sudah dikategorikan ‘klasik’ dan langka. Bersamaan dengan usaha saya untuk memahami karya-karya klasik tersebut, saya pun bertemu dengan karya-karya klasik lainnya seperti buku-buku Moh. Natsir, Prof. Rasjidi, dan biografi para tokoh seperti Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo dan Anwar Harjono. Menyelami bacaan-bacaan semacam ini menjadi semacam petualangan yang tersendiri. Selain gaya bahasanya yang berbeda dengan bahasa orang sekarang, juga karena kedalamannya yang begitu mengejutkan.

Kita memang cenderung berpikiran bahwa peradaban manusia selalu maju; orang sekarang dianggap lebih pintar daripada nenek moyangnya. Akan tetapi jika kita selidiki secara seksama melalui karya-karya para ulama Indonesia dahulu, kemudian diperbandingkan dengan karya-karya yang kita jumpai sekarang, maka akan kita temui fakta yang berkebalikan dari asumsi tadi. Moh. Natsir sudah mendebat habis Soekarno dan pandangan ‘sekuler setengah matangnya’ yang sekedar ingin mengikut jejak Turki namun – sebagaimana ditekankan oleh Natsir – sangat minim referensinya. Prof. Rasjidi sudah menelusuri dunia ghazwul fikriy (perang pemikiran), mulai dari bahasan-bahasan tentang Syi’ah, kristenisasi, ateisme, hingga infiltrasi pemikiran sekuler ke kampus-kampus IAIN. Jika Natsir dan Rasjidi adalah tokoh yang sudah digembleng oleh pendidikan tinggi, maka Buya Hamka adalah tokoh yang sangat kuat dalam tradisi otodidaknya. Karya-karyanya menggunakan referensi yang sangat luas, mulai dari pemikiran kaum filsuf Yunani kuno, Eropa abad pertengahan, hingga kaum Teosofi, aliran kebatinan, dan tentu saja dari karya-karya para ulama sebelumnya.

Ketika berkesempatan menyantap makan siang dalam sebuah acara santai bersama ust. Ahmad Sarwat, saya menyampaikan kegundahan saya tentang langkanya sosok da’i yang intelek kini. Natsir dan Hamka bagaikan jauh di awang-awang; begitu sulit untuk dibayangkan oleh saya yang hidup di jaman sekarang. Puluhan tahun yang lalu Natsir telah membicarakan bagaimana agama Islam mampu mengarahkan kebudayaan manusia bahkan kemudian membangun peradabannya sendiri, sedangkan para da’i sekarang masih saja berkutat menjawab pertanyaan jamaahnya seputar hukum bergosip, sah-tidaknya shaum orang yang muntah dan semacamnya. Hal-hal yang sudah dijelaskan dalam ratusan judul buku, bahkan seharusnya sudah diajarkan di sekolah-sekolah, masih saja menjadi bahan pembicaraan di ceramah-ceramah. Apakah ini gejala umat yang tak maju-maju atau da’i-nya yang memang tidak pernah naik level?

Ust. Ahmad Sarwat kemudian menjelaskan bahwa apa yang saya tanyakan itu juga pernah jadi bahan pemikiran ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah dahulu. Kalau kita membaca debat-debat Natsir dan Soekarno, maka jelas Natsir berada pada level intelektualitas yang jauh lebih tinggi. Hanya saja masalahnya, Natsir bukanlah orator, melainkan konseptor. Kelihaiannya adalah dalam soal berpikir, menyusun rencana dan menulis, bukan berpidato. Sebaliknya Soekarno adalah seorang orator yang sulit dicari tandingannya, bahkan di dunia internasional sekalipun. Jika ia berpidato, jangankan diplomat dan pejabat, tukang becak pun berhenti untuk mendengarkan. Kebetulan memang rakyat Indonesia secara umum tidak memiliki tradisi membaca yang kuat. Alhasil, hanya sebagian kecil yang sangat intelek sajalah yang tahu pemikiran-pemikiran Natsir, karena hanya merekalah yang membaca buku-bukunya.

Pada kenyataannya, sampai sekarang pun tradisi membaca masyarakat Indonesia masih sangat kurang. Sastrawan Taufiq Ismail beberapa kali mengeluhkan kurangnya dorongan kurikulum pendidikan di Indonesia untuk menumbuhkan kecintaan siswa akan buku. Kalau ada buku tebal yang ‘dilahap’ oleh remaja, kemungkinan besar masuk dalam kategori novel.

Jika analisa ust. Rahmat Abdullah tadi menyentuh kasus ini dari sisi umat, maka ust. Suhairy Ilyas (kakak dari ust. Yunahar Ilyas, salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Pusat yang juga pembimbing tesis saya) melihat adanya masalah dari sisi para da’i itu sendiri. Beliau menceritakan pengalamannya beberapa kali berjumpa dengan para ustadz yang sudah cukup kondang dan diundang ke mana-mana. Menurut ust. Suhairy, kebanyakan mereka hanya punya sedikit ilmu, kemudian mengemasnya dengan cara yang menarik, lalu ceramahnya laris di mana-mana, lantas tiba-tiba berhentilah perkembangan intelektualnya. Yang dibicarakan itu-itu saja, dengan polesan yang berbeda di sana-sini, dipermanis dengan lelucon di sana-sini. Ketika dinasihati untuk menambah ilmunya dengan banyak membaca, mereka justru berkilah, “Untuk membaca, kami tidak ada waktu.” Dengan sedikit ketus, ust. Suhairy beranalogi, “Da’i yang tidak sempat belajar itu sama dengan supir angkot yang tidak sempat mengisi bensin. Suatu hari pasti mogok.” Memang ‘mogoknya’ dakwah dan angkot itu berbeda. Jika kendaraan tak diisi bensin, pasti lama-lama tidak bisa bergerak lagi. Tapi da’i yang tidak menambah ilmu bisa saja tetap laris dipanggil ceramah, hanya saja intelektualitas dirinya dan jamaahnya tidak berkembang lagi.

‘Macetnya’ intelektualitas da’i ini dapat kita lihat di mana-mana, dari khutbah Jum’at hingga  ceramah-ceramah di stasiun televisi. Sekarang, semuanya berusaha jadi orator semata. Yang dilatih hanya intonasi dan lelucon, agar ceramahnya selalu segar. Kalau semua orang tertawa, artinya mereka puas. Semakin banyak tertawa, semakin puas. Tidak cukup sampai di situ, acara dibuat seinteraktif mungkin. Jika dulu Zainuddin MZ rahimahullaah dan Aa Gym sesekali menyapa jamaahnya, maka kini semua ustadz/ustadzah di televisi sudah mengatur jamaahnya untuk punya yel-yel tersendiri. Namun sehebat apa pun persiapan ceramahnya, seseru apa pun pembicaraannya, dan seinteraktif apa pun ustadz-nya, dari Ramadhan ke Ramadhan tetap saja muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya kalau muntah saat shaum? Jamaah berkumpul, ustadz datang, semua tertawa bersama, dan akhirnya nyaris tak ada yang dibawa pulang.

Kalau kita berpikir agak radikal sedikit, mungkin ada perlunya sesekali disusupkan ‘anak-anak nakal’ ke dalam jamaah-jamaah yang malang itu. Kalau ada kesempatan, bolehlah mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menantang. Bagaimana pengajaran sains di sekolah-sekolah telah secara sistematis menjauhkan siswa dari agama? Mengapa pengajaran agama di sekolah belum memberikan hasil yang memuaskan? Bagaimana Islam memformulasikan konsep ilmunya sendiri? Bagaimana Islam merespon pemikiran-pemikiran filsafat ala Barat? Bagaimana peradaban Islam yang gemilang dahulu bisa menemukan antiklimaksnya? Bagaimana para fuqaha menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka? Bagaimana metode Imam Bukhari dalam menetapkan keshahihan suatu hadits? Apa yang bisa kita gali dari karya-karya Ibn Khaldun? Seperti apa keunggulan dan kekurangan karya-karya Imam al-Ghazali?

Kita perlu ‘anak-anak nakal’ yang berteriak lantang, “Sudah saatnya kita berhenti puas pada urusan-urusan yang sepele dan beralih pada masalah-masalah yang lebih besar!”

wassalaamu’alaikum wr. wb.

sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/836