RUU Santet, Zina, dan Ushul Fiqh..
Muhasabah tafakur
Artikel ini sebenarnya hanya kutipan dari yang disampaikan
Ust. Mustafa Yakub di acara Indonesia Lawyer Club di TV *ne, dan artikel ini
pun tidak juga mewakili pandangan penulis
terhadap dua kasus seperti yang tersebut di judul di atas, yaitu Santet dan
Zina, karena Islam sudah jelas mengatur akan hal ini. Namun, problemnya adalah
saat perkembangan tekhnologi, budaya, dan peradaban terus kian berkembang
sehingga membutuhkan sebuah metode baru dalam hal menegakkan syariat.
Belalah (tolonglah) kawanmu baik dia zalim maupun dizalimi. Apabila dia zalim, cegahlah dia dari perbuatannya dan bila dia dizalimi upayakanlah agar dia dimenangkan (dibela). (HR. Bukhari)
Inilah hadits yang disampaikan ust. Mustafa Ya’kub dalam
pernyataannya di acara tersebut. Pengertian akan hadits ini merupakan sebuah
dalil akan ushul fiqh yang menyatakan bahwa hukum itu semestinya mendorong
untuk pencegahan, bukan hanya sekedar penghukuman. Dalam hal pengajuan RUU Zina
dan Santet pun, ustadz berpendapat ini adalah sebuah bentuk pencegahan, karena
ada sebuah ancaman atas tindakan zalim (Santet dan Zina) tersebut. Maka dalam
penyusunan RUU KUHAP tentang dua kasus ini pun mestinya dipahami sebagai bentuk
pencegahan.
Kaidah ushul fiqh mengatakan,
“Segala sesuatu itu halal, sebelum ada aturan (syariat) yang
melarang”
Oleh karena ini juga, maka RUU ini sebagai bentuk aturan
ketegasan dalam hal santet dan zina. Sederhananya, selama ini Santet dan Zina,
setidaknya di aturan Negara, diperbolehkan sebab tidak ada satu pun
undang-undang yang mengatur akan hal ini.
Bergerak ke tahap selanjutnya, problem yang lebih kompleks
dari dua kasus ini adalah metode pembuktian. Jika fiqh mengatakan butuh
setidaknya 4 orang saksi dalam kasus zina, maka di zaman serba modern ini
setidaknya butuh tambahan 1 orang saksi ahli diantara 4 orang itu, bisa jadi
untuk membuktikan secara biologis akan adanya kasus perzinahan. Namun, aturan
ini pun tidak serta merta dapat berlaku ditengah degradasi moral, dan
kebobrokan social politik yang saling menjatuhkan, aturan ini menjadi riskan
untuk disalah gunakan, maka dibutuhkanlah sebuah system yang benar-benar
efektif.
Persoalan serupa pun dengan santet, problem metode
pembuktian dalam kasus santet belum ditentukan alternatifnya, sebab ini
berbicara dalam ranah ghaib yang irrasional. Hukum perundang-undangan
membutuhkan pembuktian yang rasional, apa jadinya jika pembuktian irrasional
ini sampai di pengadilan..??