Sepulang dari Mesjid AtTaqwa, Kebayoran baru, saya menginap
didepok, tepatnya dirumah saudara. Hari itu memang saya merasa lelah luar
biasa, setelah bercengkerama dengan keluarga disana saya segera beranjak
istirahat, mempersiapkan diri untuk acara wisuda akbar besok di Gelora Bung
Karno.
Siapa sangka, malam itu akan menjadi malam yang panjang.
Awalnya seperti biasa tidak mudah untuk terlelap disana, saya yang terbiasa
ditempat dingin, mesti berjibaku dengan gerah, dan panas yang luar biasa. pukul
11 malam, saya masih terbangun, lelah, namun tak kuasa me-nyaman-kan diri dalam
situasi panas seperti itu. Pukul 12 malam, perlahan kondisi saya semakin tidak
nyaman, tiba-tiba ada rasa dingin menyergap, tidak lama dada pun terasa berat.
Pukul 1 malam, tiba-tiba saya merasakan sakit di sekitaran
dada, serasa diremas, semakin lama semakin menyakitkan. Rasa itu terus
menjalar, sampai ke bahu, tangan, dan perut. Nafas semakin berat dan rasa mual,
serasa tersedak di ulu hati. Pukul 2 sakit itu mencapai klimaks, saya tidak
sadar selama 10 menit, dan mulai berhalusinasi. Ada sebuah sosok yang terus
mengintai dari jauh, matanya tajam, gelap, dan hitam, namun tak bergerak
sedikit pun. Dalam diamnya, ia terus mengintai, seperti seakan siap untuk
menyergap.
Pukul 02.30, saya tersadar kembali, ditengah rasa sakit itu
saya mulai bangun dan mengatur nafas, sangat susah sekali, tapi berhasil
menenangkan sejenak dan meredakan sakit meski sebentar. Tiba-tiba saya teringat
akan gejala serangan jantung, kurang lebih gejalanya sama dengan yang saya
rasakan ini, masyarakat lebih mengenalnya dengan angin duduk, karena memang
rasanya seperti masuk angin.
Teringat akan kasus angin duduk, beberapa kerabat pun
meninggal dunia akibat ini. Mulai berkecamuklah pikiran dikepala, antara pergi
ke dokter, atau… ah. ditengah sakit, saya memaksa bangun, dengan agak terhuyung
mengambil air wudhu, dan melaksanakan shalat tahajud. Bayang-bayang kematian
itu seperti sudah didepan mata, membayangkan kematian disaat wudhu, sujud,
atau… sebelum itu. Susah payah shalat dan setelah itu saya tergeletak di
lantai.
Pukul 03.30 keponakan dan kakak saya, menyambangi kamar,
keadaan sudah mulai membaik, saya sudah mulai bisa mengendalikan nafas, dan
esekali hanya mengusap dada yang masih terasa sakit. Keadaan berangsur membaik,
namun tetap baying-bayang kematian itu terus menghantui, bayang-bayang kematian
saat shalat shubuh, atau dalam perjalanan, atau tiba-tiba tersungkur di GBK.
Di tengah bayang-bayang itu,
anehnya, saya seolah menjadi siap menyambut kematian. Kapan pun, bagaimana pun
juga saat Allah memanggil saya harus siap.
Apa yang ingin saya ceritakan bukan hanya sekedar pengalaman
saja, namun hikmah lebih jauh. Saat kita tersadar kematian itu senantiasa
mengintai, semestinya kita pun semakin siap dengan perbekalan yang ada.
Kematian tidak menunggu taubat, apa yang saya alami bukan kasus kematian yang
“diundur”, tetapi ini hanya peringatan saja. Saat ajal benar-benar tiba, siapa
pun tidak sanggup menangguhkannya.
Kematian
4/
5
Oleh
hadad