Selasa, 02 April 2013

setetes embun di terik panas..

setetes embun di terik panas..


inilah yang saya rasakan selepas mengikuti rangkaian kegiatan wisuda akbar ini. Ditengah pesimisnya keadaan negeri, ini seperti sebuah oase yang amat menyegarkan. Ribuan tahfidz telah diwisuda, jutaan lainnya siap dilahirkan. Gelora umat akhir zaman seperti yang dijanjikan Rasulullah, menjadi bagian dari negeri ini.

Ustadz Yusuf Mansur mengatakan,”InsyaAllah, kedepan kita akan mengalahkan Gaza, kita akan mengalahkan Gaza dalam hal melahirkan Tahfizh-tahfizh.. jika Gaza, negeri yang terjajah, saja mampu melahirkan ribuan tahfizh, maka kita seharusnya mampu melahirkan jutaan tahfizh..”

Sebuah visi yang luar biasa, memang kita memasuki fase dimana telah dijanjikan Rasulullah. Sebagai Fase kebangkitan islam di akhir zaman, saat Rasul sendiri menjanjikan Islam akan Berjaya dari ujung timur sampai ujung barat, maka kali ini wisuda akbar di GBK semoga menjadi saksi dan menjadi bukti akan terealisasinya visi ini.

Sejatinya ini bukan hanya isapan jempol semata, ratusan bahkan ribuan tahfizh yang hadir di acara ini adalah bukti jika visi ini bukan hanya sekedar mimpi disiang bolong saja. Sekaligus ini pun membuncahkan semangat, rasa optimis yang terpendam, dan rasa kemenangan atas semua fitnah akhir zaman.

Seperti yang Ustadz Yusuf Mansur katakana, “semoga negeri ini bukan negeri darurat korupsi, semoga negeri ini bukan pula negeri darurat zina, semoga negeri ini bukan negeri darurat narkoba, tapi semoga negeri ini menjadi negeri darurat AL-Qur’an..” negeri yang dengan sigap mencetak jutaan tahfizh dan mujahid yang siap menguasai dunia.

Ini bukan mimpi..

Kamis, 28 Maret 2013

Idealis vs realistis

Kujatuhkan pandangan kulihat jurang dalam
Penuh dengan onak duri yang amat mengerikan
Ku dongakan kepala kulihat langit tinggi
Terbentang luas tiada bertepi

(Hijjaz – Damai Nan Indah)

Eits tunggu dulu, ini bukan artikel review nasyid ya, dan lagi pula nggak ada kaitannya sama sekali dengan makna nasyid diatas.. hehe.. saya hanya suka saja dengan ilustrasi yang disampaikan Hijjaz dalam salah satu nasyidnya ini.

Perumpamaannya memang tidak jauh berbeda, idealism itu seperti menatap langit, sementara realistis itu menatap bumi. Manusia dengan segala dinamika nya pun tidak bisa total memilih satu bagian, meski dominan realistis atau idealis selalu ada bagian dirinya yang memiliki sifat berlawanan.

Mungkin tidak salah juga jika saya mengatakan bahwa ini termasuk kedalam fitrah pasangan, seperti siang-malam, gelap-terang, baik-buruk, maka idealis-realistis adalah sebuah keniscayaan akan kesempurnaan. Jika ini adalah, katakanlah, fitrah yang ada di setiap individu, persoalannya lebih baik mana yang harus didominankan..??

Erat kaitannya kecerdasan emosional, pengendalian diri termasuk waktu yang tepat saat kita berfikir idealis dan realistis menjadi penting untuk dikuasai. Namun, karakter setiap individu pun turut serta berpengaruh dalam menentukan hal ini. Contoh, sifat obsesif, agresif, dan yang lain sebagainya.

Kembali ke ilustrasi di atas, contoh penggunaan idealis-realistis. Saat kamu mendaki gunung, okelah jika kita senang melihat puncak, sesekali sebagai pemicu semangat ditengah gempuran lelah, sah-sah saja sebagai bentuk idealis kita meraih puncak, tapi jangan lupa, lihat pula jalur pendakian, tebing dan jurang yang menghadang, saat mendaki mendongak memang asyik, tapi menunduk saya kira lebih penting.

Persoalannya selanjutnya adalah dimana seharusnya idealis-realistis adalah pasangan sejati, ini malah menjadi pasangan yang saling membantai. Kembali ke ilustrasi pendakian tadi, idealnya adalah sampai puncak, tapi bagaimana saat jurang menghadang..??? pulang, loncati, atau cari jalan baru..??

Idealnya saat kita punya visi, cita-cita, dan sebuah keinginan, adalah mewujudkannya, tapi terkadang kita lupa realistis, kita lupa antisipasi akan kenyataan yang akan kita hadapi. Ingat..!! realistis bukan pesimis, justru ia adalah sebuah dorongan untuk mencari alternative lain untuk mewujudkan idealism nya. Idealism tanpa realistis sama saja bunuh diri, ia akan meloncati jurang yang ada demi sampai puncak. Realistis tanpa idealis sama riskan, susah rasanya mencapai puncak, yang ada pulang saja. Pasangan idealis-realistis, ia akan mencari jalan baru untuk menggapai puncak.

Wallahu a’lam\

sumber gambar