assalaamu’alaikum wr. wb.
Sejak menggarap makalah pada tahun 2007 dan tesis pada tahun 2009 tentang Buya Hamka, saya menjadi akrab dengan karya-karya beliau yang kini sudah dikategorikan ‘klasik’ dan langka. Bersamaan dengan usaha saya untuk memahami karya-karya klasik tersebut, saya pun bertemu dengan karya-karya klasik lainnya seperti buku-buku Moh. Natsir, Prof. Rasjidi, dan biografi para tokoh seperti Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo dan Anwar Harjono. Menyelami bacaan-bacaan semacam ini menjadi semacam petualangan yang tersendiri. Selain gaya bahasanya yang berbeda dengan bahasa orang sekarang, juga karena kedalamannya yang begitu mengejutkan.
Kita memang cenderung berpikiran bahwa peradaban manusia selalu maju; orang sekarang dianggap lebih pintar daripada nenek moyangnya. Akan tetapi jika kita selidiki secara seksama melalui karya-karya para ulama Indonesia dahulu, kemudian diperbandingkan dengan karya-karya yang kita jumpai sekarang, maka akan kita temui fakta yang berkebalikan dari asumsi tadi. Moh. Natsir sudah mendebat habis Soekarno dan pandangan ‘sekuler setengah matangnya’ yang sekedar ingin mengikut jejak Turki namun – sebagaimana ditekankan oleh Natsir – sangat minim referensinya. Prof. Rasjidi sudah menelusuri dunia ghazwul fikriy (perang pemikiran), mulai dari bahasan-bahasan tentang Syi’ah, kristenisasi, ateisme, hingga infiltrasi pemikiran sekuler ke kampus-kampus IAIN. Jika Natsir dan Rasjidi adalah tokoh yang sudah digembleng oleh pendidikan tinggi, maka Buya Hamka adalah tokoh yang sangat kuat dalam tradisi otodidaknya. Karya-karyanya menggunakan referensi yang sangat luas, mulai dari pemikiran kaum filsuf Yunani kuno, Eropa abad pertengahan, hingga kaum Teosofi, aliran kebatinan, dan tentu saja dari karya-karya para ulama sebelumnya.
Ketika berkesempatan menyantap makan siang dalam sebuah acara santai bersama ust. Ahmad Sarwat, saya menyampaikan kegundahan saya tentang langkanya sosok da’i yang intelek kini. Natsir dan Hamka bagaikan jauh di awang-awang; begitu sulit untuk dibayangkan oleh saya yang hidup di jaman sekarang. Puluhan tahun yang lalu Natsir telah membicarakan bagaimana agama Islam mampu mengarahkan kebudayaan manusia bahkan kemudian membangun peradabannya sendiri, sedangkan para da’i sekarang masih saja berkutat menjawab pertanyaan jamaahnya seputar hukum bergosip, sah-tidaknya shaum orang yang muntah dan semacamnya. Hal-hal yang sudah dijelaskan dalam ratusan judul buku, bahkan seharusnya sudah diajarkan di sekolah-sekolah, masih saja menjadi bahan pembicaraan di ceramah-ceramah. Apakah ini gejala umat yang tak maju-maju atau da’i-nya yang memang tidak pernah naik level?
Ust. Ahmad Sarwat kemudian menjelaskan bahwa apa yang saya tanyakan itu juga pernah jadi bahan pemikiran ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah dahulu. Kalau kita membaca debat-debat Natsir dan Soekarno, maka jelas Natsir berada pada level intelektualitas yang jauh lebih tinggi. Hanya saja masalahnya, Natsir bukanlah orator, melainkan konseptor. Kelihaiannya adalah dalam soal berpikir, menyusun rencana dan menulis, bukan berpidato. Sebaliknya Soekarno adalah seorang orator yang sulit dicari tandingannya, bahkan di dunia internasional sekalipun. Jika ia berpidato, jangankan diplomat dan pejabat, tukang becak pun berhenti untuk mendengarkan. Kebetulan memang rakyat Indonesia secara umum tidak memiliki tradisi membaca yang kuat. Alhasil, hanya sebagian kecil yang sangat intelek sajalah yang tahu pemikiran-pemikiran Natsir, karena hanya merekalah yang membaca buku-bukunya.
Pada kenyataannya, sampai sekarang pun tradisi membaca masyarakat Indonesia masih sangat kurang. Sastrawan Taufiq Ismail beberapa kali mengeluhkan kurangnya dorongan kurikulum pendidikan di Indonesia untuk menumbuhkan kecintaan siswa akan buku. Kalau ada buku tebal yang ‘dilahap’ oleh remaja, kemungkinan besar masuk dalam kategori novel.
Jika analisa ust. Rahmat Abdullah tadi menyentuh kasus ini dari sisi umat, maka ust. Suhairy Ilyas (kakak dari ust. Yunahar Ilyas, salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Pusat yang juga pembimbing tesis saya) melihat adanya masalah dari sisi para da’i itu sendiri. Beliau menceritakan pengalamannya beberapa kali berjumpa dengan para ustadz yang sudah cukup kondang dan diundang ke mana-mana. Menurut ust. Suhairy, kebanyakan mereka hanya punya sedikit ilmu, kemudian mengemasnya dengan cara yang menarik, lalu ceramahnya laris di mana-mana, lantas tiba-tiba berhentilah perkembangan intelektualnya. Yang dibicarakan itu-itu saja, dengan polesan yang berbeda di sana-sini, dipermanis dengan lelucon di sana-sini. Ketika dinasihati untuk menambah ilmunya dengan banyak membaca, mereka justru berkilah, “Untuk membaca, kami tidak ada waktu.” Dengan sedikit ketus, ust. Suhairy beranalogi, “Da’i yang tidak sempat belajar itu sama dengan supir angkot yang tidak sempat mengisi bensin. Suatu hari pasti mogok.” Memang ‘mogoknya’ dakwah dan angkot itu berbeda. Jika kendaraan tak diisi bensin, pasti lama-lama tidak bisa bergerak lagi. Tapi da’i yang tidak menambah ilmu bisa saja tetap laris dipanggil ceramah, hanya saja intelektualitas dirinya dan jamaahnya tidak berkembang lagi.
‘Macetnya’ intelektualitas da’i ini dapat kita lihat di mana-mana, dari khutbah Jum’at hingga ceramah-ceramah di stasiun televisi. Sekarang, semuanya berusaha jadi orator semata. Yang dilatih hanya intonasi dan lelucon, agar ceramahnya selalu segar. Kalau semua orang tertawa, artinya mereka puas. Semakin banyak tertawa, semakin puas. Tidak cukup sampai di situ, acara dibuat seinteraktif mungkin. Jika dulu Zainuddin MZ rahimahullaah dan Aa Gym sesekali menyapa jamaahnya, maka kini semua ustadz/ustadzah di televisi sudah mengatur jamaahnya untuk punya yel-yel tersendiri. Namun sehebat apa pun persiapan ceramahnya, seseru apa pun pembicaraannya, dan seinteraktif apa pun ustadz-nya, dari Ramadhan ke Ramadhan tetap saja muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya kalau muntah saat shaum? Jamaah berkumpul, ustadz datang, semua tertawa bersama, dan akhirnya nyaris tak ada yang dibawa pulang.
Kalau kita berpikir agak radikal sedikit, mungkin ada perlunya sesekali disusupkan ‘anak-anak nakal’ ke dalam jamaah-jamaah yang malang itu. Kalau ada kesempatan, bolehlah mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menantang. Bagaimana pengajaran sains di sekolah-sekolah telah secara sistematis menjauhkan siswa dari agama? Mengapa pengajaran agama di sekolah belum memberikan hasil yang memuaskan? Bagaimana Islam memformulasikan konsep ilmunya sendiri? Bagaimana Islam merespon pemikiran-pemikiran filsafat ala Barat? Bagaimana peradaban Islam yang gemilang dahulu bisa menemukan antiklimaksnya? Bagaimana para fuqaha menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka? Bagaimana metode Imam Bukhari dalam menetapkan keshahihan suatu hadits? Apa yang bisa kita gali dari karya-karya Ibn Khaldun? Seperti apa keunggulan dan kekurangan karya-karya Imam al-Ghazali?
Kita perlu ‘anak-anak nakal’ yang berteriak lantang, “Sudah saatnya kita berhenti puas pada urusan-urusan yang sepele dan beralih pada masalah-masalah yang lebih besar!”
wassalaamu’alaikum wr. wb.
sumber :
http://akmal.multiply.com/journal/item/836