Kamis, 17 November 2022

Cristiano Ronaldo, dan ilusi senioritas

 "Saya tidak menghormati manajer (Erik Ten Hag) karena dia tidak menghormati saya", 

Kira-kira itu potongan wawancara yang menjadi pemicu viralnya pemberitaan tentang Cristiano Ronaldo akhir-akhir ini. Meskipun, ketika saya melihat transkrip utuh dari wawancara ini, saya menilai niat Ronaldo ini sebetulnya baik. Hanya saja sebuah kebaikan seringkali disalah artikan jika tidak menggunakan metode yang tepat untuk menyampaikannya.

Lantas apa sebenarnya yang terjadi dengan Ronaldo ? dan bagaimana ini bisa terjadi ? Serta perlu kita sadari apa yang terjadi pada Ronaldo, bisa saja dan atau mungkin pernah terjadi juga pada kita. Lantas bagaimana menyikapi dan mengantisipasinya ? Berikut ulasannya.

Catatan Kisah Sang Legendaris




Apa yang terjadi pada Ronaldo, tidak terlepas dari kisah perjalanan karirnya yang luar biasa. Berawal sejak tahun 2002 dari klub Portugal Sporting Lisbon, beranjak ke klub yang mengantarkan karir Ronaldo ke puncaknya, yaitu Manchester United. 

Kondisi di puncak ini tidak cepat menurun, apalagi di padu padankan dengan rangkaian perjalanan lain seperti ketika di Real Madrid yang fenomenal. Peralihan karir ke Juventus, mungkin adalah titik balik yang merubah perjalanan Ronaldo menjadi agak menurun.

Manchester United menjadi pelabuhan terkini dari sang legendaris, yang apa lagi, di klub ini Ronaldo di elu-elukan bak pahlawan, superhero yang kembali pulang. Kehadiran Ronaldo seperti menjadi sebuah harapan dan cahaya baru yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar The Red Devils. Tapi, tanpa disadari kondisi ini memicu "penyakit" yang lebih lanjut akan menjadi momentum kemerosotan karir dari seorang Ronaldo.

Saya tidak akan berbicara tentang hal teknis sepakbola, bagaimana manajemen berjalan, kondisi di lapangan, strategi permainan, atau hal-hal taktis lainnya. Saya akan berbicara dengan sudut pandang lain, dengan menyadari bahwa setiap dari kita berpotensi sama seperti Ronaldo, berpotensi menjadi seorang senior yang legendaris, dan tanpa sikap yang bijak, kita seperti sedang memupuk proses kejatuhan yang menyakitkan.

How It's Work ?

Di tempat lain, di tempat teman saya bekerja, saya mendengar cerita bahwa ada salah seorang karyawan senior di sana telah resign, atau saya menduga "di paksa resign". Saya pernah bertemu dengan sosok karyawan senior ini, sejujurnya dia adalah orang baik, orang yang seringkali bekerja dengan totalitas, dan saya sering terlibat dengan diskusi bagaimana idealisme-nya di tempat kerja. 

Tapi bagaimana sosok karyawan, yang terlihat begitu profesional ini, tiba-tiba memutuskan resign ? Sekali lagi ini dugaan, bagaimana seringkali karyawan ini bergumul dengan perasaannya sendiri tatkala menghadapi kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dengan isi pikirannya. Lamanya pengalaman kerja, menjadikan karyawan ini merasa bahwa pandangannya adalah yang paling benar, setidaknya berdasarkan catatan di masa lalu dan perbandingan dengan perusahaan lain yang telah ia kenal. Belum lagi, jika pemegang kuasa atas kebijakan ini berusia lebih muda, baik secara harfiah, ataupun memang secara pengalaman yang masih kurang.

Belum lagi, status yang disandang oleh karyawan ini sebagai karyawan senior yang pernah mendapat predikat karyawan terbaik di tahun-tahun sebelumnya, menjadikan kondisi lebih rumit lagi. Para karyawan baru yang berada di posisi lebih muda, menaruh rasa hormat, kagum dan segan terhadap karyawan ini, yang pada akhirnya membuat beliau terasa nyaman. Namun kenyamanan ini tidak ia dapatkan pada sikap atasan yang seakan-akan mengabaikan kondisinya, mengabaikan pandangan-pandangannya dan bahkan seperti tidak menganggapnya ada. 

Maka kita bisa menebak yang terjadi pada adegan-adegan berikutnya, mulai menurunnya profesionalitas, hilangnya kepercayaan pada atasan, hingga tuntutan memperoleh sikap hormat dari atasan dan perusahaan, yang semakin berjalannya waktu, tentu saja itu tidak mungkin terjadi. Di sisi lain, atasan atau manajemen mulai memberikan peringatan, ancaman, atau bahkan tekanan-tekanan yang membuat karyawan ini semakin tidak nyaman. 

Pada akhirnya, saya mendengar informasi bahwa karyawan ini telah resign setelah menghadapi berbagai kondisi ketidaknyamanan yang terus bertambah besar. Kenapa ini bisa terjadi ? Dugaan saya berikutnya adalah karyawan ini berspekulatif kalau di perusahaan ini sudah tidak mungkin lagi memperoleh kenyamanan kerja, atau memang karena disebabkan karakternya yang tidak baik maka perusahaan pun membuat keibjakan yang secara halus "menyingkirkan" karyawan ini.

Ilusi Senioritas

Yang menjadi kesamaan dalam kisah Ronaldo dan karyawan di atas adalah, keduanya terjebak dalam ilusi senioritas. Yaitu ilusi bahwa semakin berumur kita, semakin banyak pengalaman, ilmu dan prestasi yang kita torehkan, maka kita semakin layak untuk di hormati.

Padahal, sebagai manusia kita harus menyadari, bahwa hidup tidak berjalan seperti itu. Seringkali kita berada di posisi di atas, dengan segala prestasi, pujian, capaian dan predikat lainnya, tapi yang harus kita sadari adalah bahwa itu tidak permanen. Suatu hari nanti, kita akan bergerak turun kebawah, sehingga orang-orang lupa dengan berbagai capaian itu, tidak peduli dengan isi pikiran dan berbagai pengalaman kita, dan kita akan di abaikan. Maka kunci keberhasilannya adalah satu : Konsisten dalam kebenaran dan kebaikan.

Kembali berbicara tentang Ronaldo, saya rasa sebuah kebetulan yang sangat tepat apabila kita bercerita pula tentang Lionel Messi. Messi adalah seorang pemain yang lebih tepat disebutkan sebagai seorang legenda sejati, bayangkan saja, jika Ronaldo dalam 20 tahun telah berganti 4 klub, Messi sejak awal karirnya hingga puncak kesuksesannya bertahan di satu klub saja, yaitu Barcelona. Bayangkan betapa seniornya posisi Messi di Barcelona pada saat itu. 

Akan tetapi, pada akhirnya karir Messi di Barcelona harus berakhir, dan ia melanjutkan karir di Paris Saint Germain (PSG). Alih-alih bersikap layaknya legenda dan pemain senior, saya melihat di PSG, Messi menjelma menjadi orang yang berbeda. Tidak banyak aksi di dalam atau di luar lapangan, ia berperan seperti "pelayan" bagi pemain-pemain lain seperti Mbappe dan Neymar. Singkatnya, ia tidak bersikap layaknya senior yang ingin di hormati, meskipun ya, dunia mengakui bahwa ia adalah Greatest Of All Time (GOAT) seorang pemain sepak bola.

Demikian artikel kali ini, dicatat oleh seorang yang bukan pengamat sepak bola, dengan bahasa se-kena-nya. Dan mudah-mudahan ada manfaatnya.

Artikel Terkait

Cristiano Ronaldo, dan ilusi senioritas
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email