Minggu, 28 April 2013

pria SMA bukan jodoh perempuan S1..


Beberapa waktu seorang Teman membuat status di fb yang bernada pertanyaan, 

“kenapa perempuan s1 terkesan enggan berpasangan dengan pria lulusan SMA..??”
Dengan nada bercanda saya membuat komentar.. “emang ya..?? :D”
Baiklah itu karena bagaimana pun juga kotak komentar memang terbatas, jadi tidak tepat juga kalau komentar panjang-panjang.. hehe.. tapi di kesempatakan kali ini, di artikel ini saya akan coba menjawab pertanyaan tersebut.


Sepengetahuan saya, perempuan tidak melihat dari status pendidikan calon pasangannya, tapi dari masa depan. Kita tidak bisa menutup mata, kalau lulusan S1 lebih terjamin masa depannya dari pada lulusan SMA, setidaknya begitulah anggapan banyak orang. Meski kalau bicara peluang, semua manusia sama saja, bahkan yang tidak mengenyam pendidikan pun masih bisa sukses (tengok kisah ayahnya bakrie dan andrie wongso).

Lulusan S1, kemungkinannya besar sekali selepas lulus bekerja di perusahan ternama, instansi pemerintah, gaji yang besar pula. Perempuan mana pun saya kira akan tertarik dengan hal ini, berbeda jauh dengan lulusan SMA, kemungkinan bekerja mungkin hanya sekelas OB atau pelayan-pelayan, artinya benar-benar dari bawah, atau berwirausaha dengan segala perihnya perjuangan.. :P secara logika, jarang ada perempuan yang bersedia menanggung beban yang sulit seperti ini jika tidak ada masa depan yang dijaminkan.

Kok terkesan matre ya..?? kata Mario Teguh, perempuan itu memang harus matre.. harus..!! karena salah satu motivasi para pria bekerja keras adalah untuk membahagiakan perempuannya, kalau perempuannya nggak matre, bahaya..!! si pria bisa jadi berevolusi jadi makhluk pemalas. Hehe

Factor pendidikan yang menunjang masa depan, pun bukan terkait masalah pendapatan saja. Ada jaminan nama baik, bagaimana pun juga bersanding dengan seseorang yang bergelar itu ya “Sesuatu..” hehe. Wajar jika seorang perempuan merasa bangga jika dipanggil, istri dari DR. Dr. bla-bla. MPd, MA, MMSc dan sebagainya. Harga diri seorang intelektual itu bisa jadi sebanding dengan harga ijazah yang diperoleh lho.. hehe (nggak.. nggak.. becanda.. becanda..). Intinya, perempuan itu kan memilih imam, semakin bagus kalau imamnya kompeten secara akademik dan intelektual. Betul..??

Kemudian, factor kedewasaan pun cukup berpengaruh, katanya (atau perasaan..) yang sarjana itu lebih dewasa dari yang lulusan SMA. Kenapa..?? karena seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk (kok kayaknya nggak nyambung yah..???), maksudnya semakin berilmu seseorang akan semakin dewasalah ia, mestinya sih begitu.

Ya, itu hanya opini saja dengan dasar “kayaknya sih begitu..” :P (bahasa gaulnya, In My Humble Opinion… ) maklum saya kan laki-laki.. nggak tahu juga, hehe. Kesimpulannya, jodoh itu memang rahasia Allah, kita nggak tahu siapa, dimana, dan kapan dipertemukan. Kita boleh saja menentukan kriteria se ideal mungkin, tapi tetap saja Allah yang menentukan kan..?? yang penting tetap ikhtiar, tawakkal, dan berdo’a, dan menjemput dengan cara yang terbaik. Lalu bagaimana dengan kita yang lulusan SMA..??? jangan berkecil hati, tetap semangat, maksimalkan ikhtiar, belajar, belajar, belajar, dan teruss belajar.

Eh, ngomong-ngomong sebenarnya banyak juga pria lulusan SMA yang berjodoh dengan perempuan sarjana, saudara saya juga begitu. Jadi, nggak masalah juga sih, asal kita nya aja pantas.. :P

Wallahu a’lam

Artikel Terkait

pria SMA bukan jodoh perempuan S1..
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

1 komentar:

31 Januari 2017 pukul 09.15 delete

Hmmm,, gue cari-cari artikel kaya gini. Gue pernah falling in love sama temen SMP gue. Namanya masih suka gue sebut sampai sekarang. Kurang lebih 12 tahun, nama doi itu menggantung di hati. Selama ini Doi masih belum pacaran tuh, beda sama gue yang udah beberapa kali. Kami ini jarang ketemu, ketemu karena direncakan sama temen-temen yang lainnya itu juga. Sebenrnya tujuan mereka mempertemukan kami berdua itu hanya satu, kami jadian. Tapi, selama usaha itu juga mereka selalu gagal. Kami hanya mengobrol lalu saling menghilang satu sama lain dalam waktu yang panjang 1~2 tahun. Engga ada komunikasi intens hanya informasi yang datang dari temen-temen. Sampai saat ini selalu begitu. Tapi, melihat informasi itu, perasaan ini mulai meredup, satu yang membuat redup itu. Gue lulusan S1 dia cuma SMA. Gue kerja di perusahaan dengan jabatan yang lumayan bergengsi, dia hanya sebagai follower bapaknya yang pengusaha keramik.
Gue bingung beneran pas salah satu temen bilang "Gimana nanti kalau Doi datang ke rumah? diterima atau engga?" gue cuma bisa jawab, "Engga tau". Huuftttt.... Galau........

Reply
avatar