Jumat, 05 Agustus 2011

saatnya berubah..!!

saatnya berubah..!!

assalaamu’alaikum wr. wb.

Sejak menggarap makalah pada tahun 2007 dan tesis pada tahun 2009 tentang Buya Hamka, saya menjadi akrab dengan karya-karya beliau yang kini sudah dikategorikan ‘klasik’ dan langka. Bersamaan dengan usaha saya untuk memahami karya-karya klasik tersebut, saya pun bertemu dengan karya-karya klasik lainnya seperti buku-buku Moh. Natsir, Prof. Rasjidi, dan biografi para tokoh seperti Moh. Natsir, Kasman Singodimedjo dan Anwar Harjono. Menyelami bacaan-bacaan semacam ini menjadi semacam petualangan yang tersendiri. Selain gaya bahasanya yang berbeda dengan bahasa orang sekarang, juga karena kedalamannya yang begitu mengejutkan.

Kita memang cenderung berpikiran bahwa peradaban manusia selalu maju; orang sekarang dianggap lebih pintar daripada nenek moyangnya. Akan tetapi jika kita selidiki secara seksama melalui karya-karya para ulama Indonesia dahulu, kemudian diperbandingkan dengan karya-karya yang kita jumpai sekarang, maka akan kita temui fakta yang berkebalikan dari asumsi tadi. Moh. Natsir sudah mendebat habis Soekarno dan pandangan ‘sekuler setengah matangnya’ yang sekedar ingin mengikut jejak Turki namun – sebagaimana ditekankan oleh Natsir – sangat minim referensinya. Prof. Rasjidi sudah menelusuri dunia ghazwul fikriy (perang pemikiran), mulai dari bahasan-bahasan tentang Syi’ah, kristenisasi, ateisme, hingga infiltrasi pemikiran sekuler ke kampus-kampus IAIN. Jika Natsir dan Rasjidi adalah tokoh yang sudah digembleng oleh pendidikan tinggi, maka Buya Hamka adalah tokoh yang sangat kuat dalam tradisi otodidaknya. Karya-karyanya menggunakan referensi yang sangat luas, mulai dari pemikiran kaum filsuf Yunani kuno, Eropa abad pertengahan, hingga kaum Teosofi, aliran kebatinan, dan tentu saja dari karya-karya para ulama sebelumnya.

Ketika berkesempatan menyantap makan siang dalam sebuah acara santai bersama ust. Ahmad Sarwat, saya menyampaikan kegundahan saya tentang langkanya sosok da’i yang intelek kini. Natsir dan Hamka bagaikan jauh di awang-awang; begitu sulit untuk dibayangkan oleh saya yang hidup di jaman sekarang. Puluhan tahun yang lalu Natsir telah membicarakan bagaimana agama Islam mampu mengarahkan kebudayaan manusia bahkan kemudian membangun peradabannya sendiri, sedangkan para da’i sekarang masih saja berkutat menjawab pertanyaan jamaahnya seputar hukum bergosip, sah-tidaknya shaum orang yang muntah dan semacamnya. Hal-hal yang sudah dijelaskan dalam ratusan judul buku, bahkan seharusnya sudah diajarkan di sekolah-sekolah, masih saja menjadi bahan pembicaraan di ceramah-ceramah. Apakah ini gejala umat yang tak maju-maju atau da’i-nya yang memang tidak pernah naik level?

Ust. Ahmad Sarwat kemudian menjelaskan bahwa apa yang saya tanyakan itu juga pernah jadi bahan pemikiran ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah dahulu. Kalau kita membaca debat-debat Natsir dan Soekarno, maka jelas Natsir berada pada level intelektualitas yang jauh lebih tinggi. Hanya saja masalahnya, Natsir bukanlah orator, melainkan konseptor. Kelihaiannya adalah dalam soal berpikir, menyusun rencana dan menulis, bukan berpidato. Sebaliknya Soekarno adalah seorang orator yang sulit dicari tandingannya, bahkan di dunia internasional sekalipun. Jika ia berpidato, jangankan diplomat dan pejabat, tukang becak pun berhenti untuk mendengarkan. Kebetulan memang rakyat Indonesia secara umum tidak memiliki tradisi membaca yang kuat. Alhasil, hanya sebagian kecil yang sangat intelek sajalah yang tahu pemikiran-pemikiran Natsir, karena hanya merekalah yang membaca buku-bukunya.

Pada kenyataannya, sampai sekarang pun tradisi membaca masyarakat Indonesia masih sangat kurang. Sastrawan Taufiq Ismail beberapa kali mengeluhkan kurangnya dorongan kurikulum pendidikan di Indonesia untuk menumbuhkan kecintaan siswa akan buku. Kalau ada buku tebal yang ‘dilahap’ oleh remaja, kemungkinan besar masuk dalam kategori novel.

Jika analisa ust. Rahmat Abdullah tadi menyentuh kasus ini dari sisi umat, maka ust. Suhairy Ilyas (kakak dari ust. Yunahar Ilyas, salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Pusat yang juga pembimbing tesis saya) melihat adanya masalah dari sisi para da’i itu sendiri. Beliau menceritakan pengalamannya beberapa kali berjumpa dengan para ustadz yang sudah cukup kondang dan diundang ke mana-mana. Menurut ust. Suhairy, kebanyakan mereka hanya punya sedikit ilmu, kemudian mengemasnya dengan cara yang menarik, lalu ceramahnya laris di mana-mana, lantas tiba-tiba berhentilah perkembangan intelektualnya. Yang dibicarakan itu-itu saja, dengan polesan yang berbeda di sana-sini, dipermanis dengan lelucon di sana-sini. Ketika dinasihati untuk menambah ilmunya dengan banyak membaca, mereka justru berkilah, “Untuk membaca, kami tidak ada waktu.” Dengan sedikit ketus, ust. Suhairy beranalogi, “Da’i yang tidak sempat belajar itu sama dengan supir angkot yang tidak sempat mengisi bensin. Suatu hari pasti mogok.” Memang ‘mogoknya’ dakwah dan angkot itu berbeda. Jika kendaraan tak diisi bensin, pasti lama-lama tidak bisa bergerak lagi. Tapi da’i yang tidak menambah ilmu bisa saja tetap laris dipanggil ceramah, hanya saja intelektualitas dirinya dan jamaahnya tidak berkembang lagi.

‘Macetnya’ intelektualitas da’i ini dapat kita lihat di mana-mana, dari khutbah Jum’at hingga  ceramah-ceramah di stasiun televisi. Sekarang, semuanya berusaha jadi orator semata. Yang dilatih hanya intonasi dan lelucon, agar ceramahnya selalu segar. Kalau semua orang tertawa, artinya mereka puas. Semakin banyak tertawa, semakin puas. Tidak cukup sampai di situ, acara dibuat seinteraktif mungkin. Jika dulu Zainuddin MZ rahimahullaah dan Aa Gym sesekali menyapa jamaahnya, maka kini semua ustadz/ustadzah di televisi sudah mengatur jamaahnya untuk punya yel-yel tersendiri. Namun sehebat apa pun persiapan ceramahnya, seseru apa pun pembicaraannya, dan seinteraktif apa pun ustadz-nya, dari Ramadhan ke Ramadhan tetap saja muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya kalau muntah saat shaum? Jamaah berkumpul, ustadz datang, semua tertawa bersama, dan akhirnya nyaris tak ada yang dibawa pulang.

Kalau kita berpikir agak radikal sedikit, mungkin ada perlunya sesekali disusupkan ‘anak-anak nakal’ ke dalam jamaah-jamaah yang malang itu. Kalau ada kesempatan, bolehlah mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menantang. Bagaimana pengajaran sains di sekolah-sekolah telah secara sistematis menjauhkan siswa dari agama? Mengapa pengajaran agama di sekolah belum memberikan hasil yang memuaskan? Bagaimana Islam memformulasikan konsep ilmunya sendiri? Bagaimana Islam merespon pemikiran-pemikiran filsafat ala Barat? Bagaimana peradaban Islam yang gemilang dahulu bisa menemukan antiklimaksnya? Bagaimana para fuqaha menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka? Bagaimana metode Imam Bukhari dalam menetapkan keshahihan suatu hadits? Apa yang bisa kita gali dari karya-karya Ibn Khaldun? Seperti apa keunggulan dan kekurangan karya-karya Imam al-Ghazali?

Kita perlu ‘anak-anak nakal’ yang berteriak lantang, “Sudah saatnya kita berhenti puas pada urusan-urusan yang sepele dan beralih pada masalah-masalah yang lebih besar!”

wassalaamu’alaikum wr. wb.

sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/836

it's my big dream...!!! ( 1 )


Ini  adalah rangkaian cerita tentang perjalananku menemukan mimpiku, ya baru kutemukan, belum ku raih.. hehe.. tapi gak apa, karena ini adalah sebuah mimpi besar, harapanku semoga mampu menginspirasi sahabat-sahabatku… 

Sejujurnya, saat ini aku bukan siapa-siapa, jadi, pantas jika sahabat yang membaca ini akan menyamakan aku dengan peribahasa “pungguk merindukan bulan”. Tapi hanya kepada Allah aku menyerahkan diri, Dia lah Yang Maha Mendengar, dan Dial ah Meha Melihat.

Latar belakang mimpiku
Pernahkah sahabat menonton acara televisi..?? terutama berita..?? bagaimanakah perasaan sahabat..?? miriskah..?? itulah yang pertama kali kurasakan, begitu miris dan menyedihkan entah apa yang terjadi dengan bangsa ini, semua menjadi terasa hampa. Saat Gaza tengah menderita dijajah, apa yang dilakukan bangsa ini..?? saat Mesir, Tunisia, Suriah, Yaman menggolak akibat demonstrasi.. saat Libya di injak-injak oleh NATO.. dan saat pembantaian di Norwegia yang mengatasnamakan amanah suci dari perang salib..?? begitu menyedihkan, karena kita tidak bisa berbuat banyak untuk sekedar membantu, atau mencegah semua kejadian itu. Begitu menyedihkan saat kita malah sibuk hura-hura sementara saudara-saudara kita menderita.

Jika sahabat berkesempatan silaturahmi ke rumahku, dan masuk ke kamarku, entah apa yang ada di pikiran sahabat, karena kamarku berantakan luar biasa.. hehe.. ya di kamarku, dan di ranjangku berserakan buku-buku di segala penjuru, mau bagaimana lagi memang begitulah sifatku, tapi yang aku ingin ceritakan adalah sebuah buku favoritku, atau rasanya lebih pantas disebut kitab, ya itulah Kitab Tafsir Fizhilalil Qur’an, karangan Sayyid Quthb. Kenapa kujadikan buku favorit..?? karena dalam kitab tafsir ini, dikemas dengan gaya bahasa yang menarik, menggelitik, dan berwawasan luas dan cukup terbaru ( dikarang tahun 60-an), begitu pun dengan kepribadian dan kisah perjuangan Sayyid Quthb sang maestro dibalik kitab tafsir ini, sangat menggelora, dan menularkan ghiroh luar biasa.

Selain itu, buku-buku yang lain pun turut serta mempengaruhiku, seperti Ihya ‘ulumiddin, fiqih 4 mazhab, shirah shahabat, dan buku yang lainnya, lucunya bukan isi materinya yang mempengaruhiku ( karena lama kelamaan pusing juga ya mesti baca buku setebal itu.. hehe ) tapi sosok-sosok di balik buku itu, seperti Imam Ghazali, para Imam empat mazhab ( Hanafi, Maliki, Syafii, HAmbali ), Hasan Al-banna, dan sosok spektakuler lainnya. Singkatnya, aku mengambil kesimpulan sederhana dari sekian banyak tokoh spektakuler tersebut, yaitu
mereka adalah insan-insan sederhana, bergaya sederhana, namun dengan pemikiran-pemikirannya mereka mengguncang dunia.
Selanjutnya masa remaja kecilku pun dihabiskan di dunia organisasi, seperti pramuka, OSIS, paskibra, rohis, dan lainnya. Dari sana aku memperoleh sedikit pengetahuan yaitu
mereka yang berorganisasi ( berjamaah ) akan lebih mudah menyelesaikan masalah.
Terakhir, aku berkesempatan membaca sebuah artikel yang luar biasa, yang berjudul mencari sang da’I oleh akmal syafril, yang bercerita tentang kerinduannya tentang sosok da’I intelektual, selengkapnya bisa dibaca di blog ini

Dari semua latar belakang yang kubaca, kudengar dan kurasakan tersebut, akhirnya timbullah sebuah pemikiran kecil tentang mimpi ini..

Berlanjut di part 2 

Wallahu a’lam

Rabu, 20 Juli 2011

waktu

20 tahun = 240 bulan = 7200 hari = 172800 jam = 10368000 menit = 622080000 detik..

sebanyak itukah saksiku saat ini..?? apa yang akan mereka katakan..?? baikkah..?? atau.. naudzubillah...

Kamis, 30 Juni 2011

cicak vs nyamuk

Apa yang terbayang ketika mendengar nama cicak..??ya, mungkin dalam bayangan kita hanya seekor kadal kecil yang suka merayap di dinding, suka bersuara aneh. Tapi pernahkah kita memperhatikan bagaimana ia makan..?? apa yang ia makan..?? ya ! nyamuk.
Cicak adalah binatang reptil, dan tentunya ia berjalan merangkak dan merayap, jangankan terbang untuk berdiri pun adalah hal yang mustahil bagi sang cicak, tapi justru makanan utamanya adalah nyamuk..!! nah lalu apa masalahnya..?? jelas ini masalah besar bagi cicak, karena nyamuk adalah serangga kecil yang mampu terbang dengan cepat dan gesit, jangankan cicak, kita aja manusia belum tentu dapat menangkap nyamuk, gak percaya..?? silahkan buktikan sendiri.. hehe, tapi Allah memiliki cara yang luar biasa, dengan segala keterbatasannya, toh ternyata cicak masih bias hidup, masih bias makan nyamuk, dan masih bias merayap didinding-dinding rumah kita.
Dari kilasan sederhana di atas, mari kita ambil hikmahnya
1. Allah Yang Maha Pemberi Rizki
Manusia, cicak, tumbuhan, hewan, semua mendapat rizki yang tepat dari Allah, tidak terkecuali. Setidaknya ada 3 jenis rizki dari Allah.
a. rizki yang di jamin adalah rizki yang pasti akan turun kepada semua makhluknya, yaitu berupa makanan, entah itu kepada manusia, hewan, tumbuhan, bekerja, pengangguran, miskin, kaya, cakep, jelek, semua pasti dapat makan, asal dengan satu syarat, ia masih hidup.. hehe.. nah rizki inilah yang dimainkan perannya oleh cicak, yaitu hanya sekedar untuk makan sekenyangnya, dan bertahan hidup ( emang ada gitu cicak pelihara nyamuk..??? setahu saya belum ada.. :D ), kalau manusia bekerja dan berikhtiar hanya dengan tujuan mencari makan, lalu apa bedanya manusia sama cicak, kucing, pohon kelapa, atau tikus ( ehm bukan yang di senayan lho.. he )
b. rizki yang dijemput dan digantung nah ini baru yang membedakan manusia dan hewan serta tumbuhan, manusia memiliki kemampuan untuk menjemput rizki, rizki untuk apa..?? sekali lagi bukan untuk makan atau untuk hidup..!! tapi untuk jauh lebih besar, bagi orang-orang sukses ya untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka ( insya Allah ini dibahas di lain kesempatan.. soalnya panjaaaanng banget.. ). Lalu apa perbedaan dijemput sama di gantung..?? dijemput berarti rizki yang diperoleh sebanding dengan usaha yang dilakukannya, pendapatan seorang supir pasti gak bakalan sama dengan presiden, begitu… kalo di gantung artinya percepatan, rizki yang berkali-kali lipat, caranya dengan do’a, sedekah, dan ibadah yang lainnya, dengan kata lain dalam soal rizki ia “berbisnis” langsung dengan Allah.. yang pasti dijamin tokcer dah.. hehe
2. seberapa besar iman kita..??
nah ini yang paling penting, diantara kita pasti banyak yang sering baca AlQur’an kan..?? sering khatham..?? lalu sudahkah kita beriman kepadaNya…??? Cicak yang bagi kita seperti makhluk tidak berdaya, hanya merayap, dengan ke Maha Luar Biasaan Allah, mampu hidup dari makanan yang kayaknya bagi cicak adalah makhluk super tangguh.. intinya gak ada yang gak mungkin bagi Allah, jangankan hal seperti itu lebih dari itu pun nggak mustahil bagi Allah. Coba seberapa banyak dari kita yang sering mengeluh tentang kehidupannya, entah itu tentang pekerjaan, pendapatan, kesehatan, keluarga, lalu dimana keimanannya pada waktu itu..?? apakah ia gak percaya kalo Allah yang telah mengaturnya pasti memiliki hikmah dibelakangnya, atau saat ia sejahtera, ia malah boros, lalai, sombong, ujub.. lalu kapan ia beriman kepada Allah..??? masa iman kita kalah sama cicak..??

wallahu a’lam