Cinta Dunia
Muhasabah tafakurDalam kehidupan, setiap zamannya selalu memiliki keunikan dan kekhasan yang hanya dimiliki oleh peradaban itu, atau menjadi identitas yang dipegang olehnya. Sebutlah, Babylonia yang menjadi peradaban pertama yang menggunakan bahasa, Mesir yang menjadi peradaban pertama yang menggunakan tekhnologi meski sederhana. Dalam kaca mata Islam pun jika setiap kaum memiliki Nabi, maka kaum atau Nabi itu mengunci satu identitas yang kelak akan menjadi alat dakwah kepada kaumnya itu. Missal, Nabi Nuh dengan bahtera, Musa dan kaumnya dengan keahlian sihir, Daud dengan kemerduan suara, dan lain lagi. Nah yang menjadi identitas bagi Nabi Muhammad dan kaumnya, yaitu kita, insya Allah, adalah perdagangan.
Menilik identitas kaum Nabi Muhammad sebagi pedagang, maka kita seharusnya diunggulkan dalam bidang perekonomiannya, sebut saja shahabat Nabi seperti Abdurrahman Bin Auf, Utsman Bin Affan, Umar Bin Khattab, dan banyak shahabat lain termasuk Nabi sendiri adalah pedagang yang sukses. Saat ini, kita tidak bisa menutup mata, bahwa faktanya hanya sedikit yang menekuni profesi mulia ini, banyak yang lebih menjadi karyawan, atau profesi lainnya dari pada berdagang, padahal inilah 9 dari 10 pintu rezeki yang dijanjikan.
Namun tantangannya, dalam kaum ini yang memiliki identitas dan kekuatan ekonomi adalah hubbud dunya. Hal ini yang diwanti-wanti oleh Nabi sebagai tantangan berat yang akan menghadang di akhir zaman. Bagaimana tidak, sebagai pedagang dan pelaku ekonomi, materi sangatlah menjadi aspek utama dalam prakteknya, namun didalam Islam hal ini pun mesti diimbangi dengan ingatan bahwa dunia tidak kekal, dan harus mempersiapkan bekal untuk hidup selanjutnya.
Fenomena hubbud dunya ini, adalah sebuah fenomena yang cukup unik sebetulnya untuk menggambarkan kekuasaan Allah. Kita lihat, biasanya yang hubbud dunya itu kebanyakan adalah orang yang kurang beriman, ia tidak percaya bahwa Allah lah yang menjamin rizkinya, Allah lah yang mengatur kehidupannya, dan Allah lah tempat kembalinya. Uniknya, mereka yang hubbud dunya, dalam prakteknya seperti bersusah payah mencari materi, tapi tidak pernah menikmati hasil jerih payahnya tersebut, sungguh pribadi yang merugi. Kenapa seperti itu ? karena ia merasa akan hidup lama, hartanya mesti cukup ( dalam penglihatannya ) untuk menanggung hidupnya yang lama itu, dan ia merasa takut seandainya ia tiba-tiba jatuh miskin, sakit, atau hajat yang mendadak lainnya.
Berbeda terbalik dengan seorang muslim yang berusaha dibarengi iman. Para shahabat NAbi, adalah contoh yang tepat untuk ini, sebut saja Abdurrahman Bin Auf, ia mensedekahkan seluruh hartanya ketika hijrah, dan setibanya di madinah ia menolak semua pemberian shahabat Anshornya, ia memilih ditunjukan jalan kepasar, dan beberapa tahun kemudian, ia kembali menjadi saudagar kaya raya. Ada lagi shahabat yang memilih untuk menyedekahkan kebun kurmanya kepada Nabi, beberapa hari kemudian ia datang lagi, sambil memberitahukan bahwa kebunnya kini sudah terganti. Dan shahabat yang lain, di samping mereka berikhtiar untuk hidup, akan tetapi mereka tidak silau dengan kegemerlapan dunia.
Hendaknya seorang muslim itu, hanya memandang harta sebatas genggaman tangan, tidak sampai pada hatinya. Jadi, segala usahanya ia lakukan bukan untuk harta semata, tetapi dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Inilah yang dilakukan Nabi dan shahabatnya, mereka berusaha hanya sebatas untuk mencukupi kehidupannya, sedangkan kelebihannya mereka sedekahkan di jalanNya, inilah kunci sukses keberkahan yang utama.
Problema yang kita hadapi saat ini memang tidak mudah, manusia semakin berlomba-lomba memperkaya diri, banyak fasilitas yang dibutuhkan memerlukan uang untuk memenuhinya. Disinilah kecerdasan kita mesti terasah, isyarat Nabi untuk mencukupi hidup, merupakan sebuah isyarat pengaturan financial yang mesti tepat, artinya semua kebutuhan yang dibutuhkan itu harus sebisa mungkin di penuhi. Nabi tidak menginginkan umatnya untuk menjadi miskin, tetapi tidak pula bergelimang harta tak berkah.
Setidaknya, kita sebagai umat muslim sebisa mungkin terhindar dari penjara dan penjajahan materi yang menyesatkan. Seharusnya umat muslim adalah penguasa ekonomi dunia, dengan segala isyarat yang disampaikan Nabi, namun minimal seorang muslim harus mampu menjaga diri dan hartanya dari praktek ekonomi menyesatkan, seperti riba.
Pada akhirnya, Nabi adalah contoh terbaik, suri tauladan umat, dan beliau telah memberikan sebuah arahan tentang bertahan hidup dengan berkah, meski di zaman tersulit sekali pun, selamat sukses dan berkah.
Wallah a’lam
Menilik identitas kaum Nabi Muhammad sebagi pedagang, maka kita seharusnya diunggulkan dalam bidang perekonomiannya, sebut saja shahabat Nabi seperti Abdurrahman Bin Auf, Utsman Bin Affan, Umar Bin Khattab, dan banyak shahabat lain termasuk Nabi sendiri adalah pedagang yang sukses. Saat ini, kita tidak bisa menutup mata, bahwa faktanya hanya sedikit yang menekuni profesi mulia ini, banyak yang lebih menjadi karyawan, atau profesi lainnya dari pada berdagang, padahal inilah 9 dari 10 pintu rezeki yang dijanjikan.
Namun tantangannya, dalam kaum ini yang memiliki identitas dan kekuatan ekonomi adalah hubbud dunya. Hal ini yang diwanti-wanti oleh Nabi sebagai tantangan berat yang akan menghadang di akhir zaman. Bagaimana tidak, sebagai pedagang dan pelaku ekonomi, materi sangatlah menjadi aspek utama dalam prakteknya, namun didalam Islam hal ini pun mesti diimbangi dengan ingatan bahwa dunia tidak kekal, dan harus mempersiapkan bekal untuk hidup selanjutnya.
Fenomena hubbud dunya ini, adalah sebuah fenomena yang cukup unik sebetulnya untuk menggambarkan kekuasaan Allah. Kita lihat, biasanya yang hubbud dunya itu kebanyakan adalah orang yang kurang beriman, ia tidak percaya bahwa Allah lah yang menjamin rizkinya, Allah lah yang mengatur kehidupannya, dan Allah lah tempat kembalinya. Uniknya, mereka yang hubbud dunya, dalam prakteknya seperti bersusah payah mencari materi, tapi tidak pernah menikmati hasil jerih payahnya tersebut, sungguh pribadi yang merugi. Kenapa seperti itu ? karena ia merasa akan hidup lama, hartanya mesti cukup ( dalam penglihatannya ) untuk menanggung hidupnya yang lama itu, dan ia merasa takut seandainya ia tiba-tiba jatuh miskin, sakit, atau hajat yang mendadak lainnya.
Berbeda terbalik dengan seorang muslim yang berusaha dibarengi iman. Para shahabat NAbi, adalah contoh yang tepat untuk ini, sebut saja Abdurrahman Bin Auf, ia mensedekahkan seluruh hartanya ketika hijrah, dan setibanya di madinah ia menolak semua pemberian shahabat Anshornya, ia memilih ditunjukan jalan kepasar, dan beberapa tahun kemudian, ia kembali menjadi saudagar kaya raya. Ada lagi shahabat yang memilih untuk menyedekahkan kebun kurmanya kepada Nabi, beberapa hari kemudian ia datang lagi, sambil memberitahukan bahwa kebunnya kini sudah terganti. Dan shahabat yang lain, di samping mereka berikhtiar untuk hidup, akan tetapi mereka tidak silau dengan kegemerlapan dunia.
Hendaknya seorang muslim itu, hanya memandang harta sebatas genggaman tangan, tidak sampai pada hatinya. Jadi, segala usahanya ia lakukan bukan untuk harta semata, tetapi dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Inilah yang dilakukan Nabi dan shahabatnya, mereka berusaha hanya sebatas untuk mencukupi kehidupannya, sedangkan kelebihannya mereka sedekahkan di jalanNya, inilah kunci sukses keberkahan yang utama.
Problema yang kita hadapi saat ini memang tidak mudah, manusia semakin berlomba-lomba memperkaya diri, banyak fasilitas yang dibutuhkan memerlukan uang untuk memenuhinya. Disinilah kecerdasan kita mesti terasah, isyarat Nabi untuk mencukupi hidup, merupakan sebuah isyarat pengaturan financial yang mesti tepat, artinya semua kebutuhan yang dibutuhkan itu harus sebisa mungkin di penuhi. Nabi tidak menginginkan umatnya untuk menjadi miskin, tetapi tidak pula bergelimang harta tak berkah.
Setidaknya, kita sebagai umat muslim sebisa mungkin terhindar dari penjara dan penjajahan materi yang menyesatkan. Seharusnya umat muslim adalah penguasa ekonomi dunia, dengan segala isyarat yang disampaikan Nabi, namun minimal seorang muslim harus mampu menjaga diri dan hartanya dari praktek ekonomi menyesatkan, seperti riba.
Pada akhirnya, Nabi adalah contoh terbaik, suri tauladan umat, dan beliau telah memberikan sebuah arahan tentang bertahan hidup dengan berkah, meski di zaman tersulit sekali pun, selamat sukses dan berkah.
Wallah a’lam